Dalam Hanifa
O Kaiyapuri,buku yang ditulis pada abad ke-16, Shah Barid Khan
bercerita tentang kedatangan orang Arab di Arakan. Lebih tiga abad
kemudian, British Burma
Gazetteers, yang ditulis RB Smart, bertutur tentang orang-orang
Moor yang terdampar di pantai Arakan, bermukim, kawin-mawin dengan penduduk
lokal, dan membentuk masyarakat baru.
Sebelum Hanifa O Kaiyapuri terbit, cerita tentang
kedatangan orang-orang Arab adalah cerita tutur masyarakat Muslim di Arakan.
Barid Khan meneliti kebenaran cerita ini, dan membandingkannya dengan berbagai
sumber dari Persia dan Arab.
Barid Khan sampai pada kesimpulan kedatangan
orang Arab pertama di Arakan terjadi tahun 680 Masehi. Setelah Perang Karbala,
demikian Barid Khan, Mohammed Hanofiya dan tentaranya tiba di Arab-Shah Para –
sebuah kawasan dekat Maungdaw, kota di sebelah utara Arakan saat ini.
Hanif dan pasukannya bermukim di tempat itu,
berbaur bersama penduduk setempat. Di dalam hutan, Ratu Kaiyapuri memimpin
masyarakat kanibal. Secara berkala, pasukan Kaiyapuri menyerang desa-desa di
pinggir hutan, menculik penduduk dan memakannya. Hanif berinisiatif mengkahiri
semua ini. Bersama pasukannya, Hanif masuk ke dalam hutan dan menyerang istana
Ratu Kaiyapuri. Unggul pengalaman tempur, dan persenjataan, Hanif berhasil
menangkap Ratu Kaiyapuri bersama pengikutinya.
Ia membawa sang ratu Kanibal keluar hutan. Ratu
Kaiyapuri bersedia memeluk Islam, dan Hanif menikahinya. Setelah itu terjadi
perpindahan agama secara massal. Pengikut Hanif dan Kaiyapuri berbaur,
kawin-mawin, dan menciptakan masyarakat baru.
Masyarakat campuran itu tinggal selama sekian
abad di dua tempat yang dikenal dengan nama Hanifa Tonki dan Kaiyapuri Tonki.
Jika pemerintahan militer tidak melakukan de-muslimisasi di Arakan, dunia masih
akan menemukan tempat ini di Arakan.
Mohammed Ashraf Alam, dalam A Short Historical Background of Arakan,
masyarakat campuran inilah yang menjadi inti Muslim Rohingya di Arakan saat
ini. RB Smart punya versi lain. Sekitar tahun 788, Mahataing Sandya
mendirikan sebuah kota baru di atas lokasi kota kuno Ramawadi, dan menjadikan
dirinya raja. Setelah berkuasa 22 tahun, Mahataing Sandya meninggal dunia.
Selama berkuasa, Mahataing Sandya mendapat
beberapa laporan tentang kapal tenggelam terhantam badai di perairan Arakan,
dan awaknya terdampar di Pulau Rambree. Raja Mahataing Sandya
memerintahkan pasukan untuk membawa semua kru dari Pulau Rambree, dan
memukimkannya di beberapa desa, yang lokasinya tidak jauh dari Akyab – kota di
Arakan saat ini.
Mengutip sejumlah sumber-sumber kuno, RB Smart
memastikan kru kapal itu adalah orang-orang Arab Moor. Mereka bermukim sekian
lama, dan membentuk komunitas yang mapan. Jejak arkeologis mereka berupa tempat
ziarah Babazi Sha Monayem dari Ambari, Pir Badar Sha, atau Badar Al-din
Allamah, di dekat Teluk Bengal, masih berdiri sebelum terjadi de-Muslimisasi.
Dalam Rohingya
Outcry and Demands, sejarawan Arakan menulis setelah bermukim lebih
satu generasi, orang-orang Arab nyaris menguasai seluruh Arakan, dan melakukan
penetrasi ke beberapa bagian Burma. Tindakan ini membuka jalan bagi masuknya
penyebar agama Islam mendedikasikan hidup mereke melayani penduduk asli.
Penyebar Islam tidak hanya orang Arab, tapi juga
Turki, penduduk Asia Tengah, Bengal, Moor, dan Pathan. Khusus Bengal, mereka
tidak sekadar datang sebagai penyebar agama, tapi juga pedagang. Ada pula yng
berprofesi sebagai tentara.
Merekalah yang memainkan peran penting dalam
perkembangan masyarakat Muslim di Arakan. Ajaran Islam yang menekankan kesamaan
hak, dan menolak sistem kasta, menjadi daya tarik bagi penduduk Arakan.