Pengetahuan tentang sejarah budaya kegemilangan orang Islam
pada abad ke-7 hingga abad ke-14 amat penting, dan dapat dijadikan petunjuk
penyebaran penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan penjelasan secara
ilmiah. Al Battani pada abad ke-sembilan seorang ahli astronomi (600 tahun
sebelum Galileo). Astronomi memberi faedah praktis kepada orang Arab
untuk menentukan arah di Gurun Sahara, dan lebih penting lagi di laut bagi para
nomade-nomade Arab yang mengarungi Lautan Tengah bahkan Samudra Hindia dan
pantai Afrika. Keperluan untuk mengetahui posisi memerlukan pengetahuan yang
dalam dan alat-alat pengukur seperti ‘astrolabe’ (yang mereka sempurnakan
sehingga mereka dapat mengukur ketinggian langit, matahari, bulan dan
planet-planet lain) dan ‘bousole’ yang mereka ciptakan
dan mereka tularkan kepada bangsa Cina.
Dampak lain dari penemuan-penemuan itu menjadikan
gairah berlayar bagi orang-orang Islam. Dari Abad ke-sembilan pelaut-pelaut
Muslim mengarungi Samudra Hindia. Sampai seratus tahun kemudian yaitu pada abad
ke-sepuluh –sebelum Marco Polo (1254-1324), Christoforus Columbus (memulai
pelayaran tahun 1492), Vasco da Gama (mulai berlayar tahun 1497), dan Ferdinand
Magellan (memulai pelayaran tahun 1519)- pedagang Muslim yang bernama Sulaiman
memberi gambaran tentang negeri Cina. Dalam konteks ini memberitahu kita bahwa
orang-orang Cina ternyata memeluk Islam lebih dahulu daripada orang ‘jawa’.
Pengetahuan navigasi yang ditemukan oleh orang Islam menyebabkan Laksamana
Cheng Ho –Cina Muslim- memulai ekspedisi lautnya yang pertama pada tahun 1405,
yang sebelumnya ekspedisi, dan perdagangan orang-orang Cina ke Timur Tengah
melalui ‘jalur sutra’ (silk-road).
Dalam
ekspedisi laksamana Cheng Ho tercatat membawa tidak lebih dari 200 kapal
termasuk 26 kapal besar dengan kapasitaa kapal yang terbesar kurang lebih 2500
ton, dan jumlah awak kapal 27.800 orang (Prof.Kong Yuanszhi, “Cheng Ho: Misteri
Perjalanan Musibah di Nusantara”, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2005). Adalah
masuk akal bahwa armada Pasuruan pada tahun 1554 pernah dikerahkan ke Ambon
untuk mengusir penjajah bangsa Portugis atas permintaan Ratu Kalinyamat,
Jepara. Teka-teki tentang bagaimana asal-mula komunitas pertama orang Pasuruan,
tentang mobilitas yang tinggi dari orang Pasuruan jangkauan perdagangannya
hingga ke Malaka yang menggunakan teknologi, baik navigasinya maupun armadanya
yang anggun, terjawab sudah (Valentijn, Oud en Nieuw, jil.II.hlm.8, dalam H.J.De Graaf, ‘Awal
Kebangkitan Mataram’, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2001).
Pasuruan sebuah kota muncul dalam catatan sejarah
ketika para misionaris Katolik Roma menemukan naskah yang ditulis dilembaran
daun lontar di Pasuruan pada tahun 1598-1599 (Prof.Dr.Hasanu Simon, ‘Misteri
Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2007). Naskah yang berisi ‘sarasehan’ Walisongo angkatan
pertama di Girikedaton Gresik, diberi nama Kropak Ferrara itu
kini disimpan di Perpustakaan Umum Ariostea di Ferrara Italia. Selain itu
terdapat lempengan tembaga yang terdapat tulisan: “Sebuah naskah tidak
dikenal dari sebuah buku yang terbuat dari lontar terdiri atas 23 lembar, dari
museum Marcuis Cristino Bevilacqua di Ferrara” Selama ini naskah
tersebut tidak diketahui oleh ahli sejarah sampai kemudian pada
tahun 1962 fotocopy naskah Kropak Ferrara di kirim ke Leiden
agar para ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno dapat mengidentifikasi dokuman
yang sangat berharga tersebut. Akhir tahun 1978 naskah Kropak
Ferrara dipublikasikan dan diterbitkan oleh Koninklijk Instituut
voor Taal Land en Volkenkunde, Martinus Nijhoff, Den Haag, dan diberi
judul “An Early Javanese Code of Muslim Ethics”,oleh Gjh Drewes. Di
Indonesia, buku yang berbahasa Belanda tersebut diterbitkan oleh penerbit
Alfikr Surabaya tahun 2002 setelah dialih bahasakan Wahyudi S.Ag. ke dalam
bahasa Indonesia.
Naskah Kropak Ferrara disamping
dapat memperjelas eksitensi keberadaan kota Pasuruan ternyata tidak lahir pada
tanggal 8 Februari 1686 juga dokumen itu menginformasikan bahwa misi da’wah
Walisongo dilaksanakan oleh para mubaligh yang terbagi dalam 4 angkatan.
Sejarah Walisongo –berkat dokumen kropak ferrara- menjadi semakin
jelas yang selama ini lebih banyak dibumbui oleh mitos-mitos kesaktian.
Komunitas Muslim Jawa yang mendiami wilayah kota
pantai Utara Jawa yang sedikit dan perkembangan agama Islam yang tidak
mengalami kemajuan sejak kedatangannya pada abad-abad 10 menggugah hati
penguasa Turki, Sultan Muhammad I yang memerintah tahun 1394-1421 untuk
mengirim da’i berjumlah 9 orang (orang ‘jawa’ menyebut
walisongo) ke tanah Jawa. Disebutkan dalam buku (kitab) Kanzul ‘Ulum yang
sekarang masih tersimpan diperpustakaan istana Kesultanan Ottoman di Istambul,
karya Ibnul Bathuthah yang kemudian dilanjutkan oleh Syeh Maulana
Muhammad Al Maghrobi bahwa da’i angkatan pertama itu adalah
(ibid, Hasanu Simon):
Maulana Malik Ibrahim, ahli irigasi dan ahli mengatur
negara, berkebangsaan Turki bertugas di Gresik sampai wafatnya pada tahun 1419.
Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia Selatan, ahli pengobatan, berda’wah di
Jawa Timur kemudian pindah ke Singapura, dan kemudian wafat di Pasai.
Maulana Jumadil Kubro, dari Mesir. Maulana Muhammad al Maghrobi berasal
dari Maroko (maghribi). Maulana Malik Isro’il dari Turki ahli mengatur Negara.
Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia (Iran), ahli pengobatan. Maulana Hasanuddin,
dari Palestina. Maulana Aliyudin dari Palestina. Syeh Subakir dari Iran, ahli
me-numbali daerah angker yang dihuni jin jahat.
Seperti yang ditulis Prof.Dr.Hasanu Simon dalam
bukunya 'Misteri Syeh Siti Jenar':Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah
Jawa', tim da'í yang terdiri dari 9 orang ini begitu tiba di Jawa langsung
mengadakan pertemuan pada tahun itu juga (1404).
Nama-nama Walisongo Menurut
Angkatan;
Angkatan I (1404-1421): M.Malik Ibrahim,
Maulana Ishaq, M.A.Jumadil Kubro, Muh.Al Maghrobi, Maulana Malik Isro’il, Muh.
Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, Syeh Subakir.
Angkatan II (1421-1436); Sunan Ampel,
Maulana Ishaq, M.A.Jumadil Kubro, Muh.Almaghrobi, Maulana Malik Isro’il,
Muh.Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Alyuddin, Syeh.Subakir.
Angkatan III (1436-1463); Sunan Ampel,
Maulana Ishaq, M.A.Jumadil Kubro, Muh.Al Maghrobi, Ja’far Shodiq, Syarif
Hidayatulloh, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, Syeh Subakir
Angkatan IV (1463-1466); Sunan Ampel;
Sunan Bonang; A,Jumadil Kubro; Muh.Al Maghrobi; Ja’far Shodiq; Sunan Gunung
Jati; Sunan Giri; Sunan Drajad; Sunan Kalijogo.
Angkatan V (1466-1478; Sunan Giri; Sunan
Ampel; Sunan Mbonang; Sunan Kudus; Sunan Gunung Jati; Sunan Drajad; Sunan
Kaljogo; Raden Fattah; Fathullah Khan.
Angkatan VI (1478-); .Sunan Giri;
Sunan Ampel; Sunan Mbonang; Sunan Kudus; Sunan Gunung jati; Sunan
Drajad; Sunan Kalijogo; Sunan Muria; Sunan Pandanarang.
Tidak diketahui dengan pasti mengapa juru
da’wah angkatan pertama hingga angkatan ke-enam yang dikirim ke Jawa selalu
berjumlah sembilan orang. Berturut-turut pengiriman juru da’wah ke jawa dimulai
tahun 1404 hingga angkatan ke-enam pada tahun 1478 (ibid, Hasanu Simon). Yang
menarik dari Walisongo adalah ketika pada angkatan ke-empat tahun 1463
Sunan Kalijogo dari Jawa termasuk dalam jajaran walisongo hingga angkatan yang
terakhir. Semenjak walisongo angkatan ke-empat pemeluk Islam terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama golongan Islam putihan(futi’ah), yang kedua
golongan Islam abangan atau disebut aba’ah (Atmodarminto, 2001, dalam ibid).
Fenomena ini yang menjadi cikal-bakal keberadaan kaum ‘abangan (merah)’ hingga
sekarang. Munculnya Syeh Siti Jenar pada akhir abad ke-15 awal abad ke-16
adalah titik balik perkembangan Islam akibat dari berkurangnya tenaga juru
da’wah dari Timur Tengah yang mempunyai dasar akidah yang sangat kuat,
dibanding dengan tingkat pengetahuan yang memadai tentang ke-islaman dari para
‘wali’ dari Jawa yang masih terikat oleh system nilai budaya Hindu, Animisme,
dan Budha.
Juru da’wah angkatan pertama yang dikirim Sultan
Muhammad I pada abad ke-15 itu ternyata bukan yang pertamakali yang datang ke
Pulau Jawa. Pada abad ke-12 yaitu pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya dari
Dhaha Kediri yang memerintah tahun 1135-1157 pernah tercatat penyebar agama
Islam, Ali Syamsu Zein dari Bani Abasyiah yang berpusat di Baghdad. Namun
demikian, penyebaran agama Islam atau setidak-tidaknya Islam telah ada di Jawa
sebelum para juru da’wah tersebut di atas. Fatimah Binti Maimun paling tidak
adalah seorang Muslimah yang dimakamkan di Desa Leran Gresik bertahun 475 H
atau tahun 1082 Masehi, yang berarti Islam sudah ada di Gresik tiga abad atau
322 tahun sebelum Walisongo angkatan pertama.
Penemuan Kropak Ferrara oleh
misionaris Katolik Roma pada tahun1598-1599 di Pasuruan merupakan arti penting
bagi penulisan sejarah, terutama sejarah Pasuruan. Disamping itu mengajarkan
kepada kita bahwa melihat sejarah tidak didasarkan kepada natijah ‘jarene
mbahku’ (Kata ‘embah’ saya), tetapi berdasarkan bukti-bukti sejarah, yang
barangkali di masa depan ditemukan lagi bukti-bukti baru tentang sejarah
nasional umunya, dan sejarah Pasuruan pada khususnya.