Kebanyakan orang hanya mengenal satu kata untuk menyebut Tionghoa perantauan, yaitu huaqiao. Wang Gungwu, dalam Patterns of Chinese Migration in Historical Perspective, mengelompokkan perantau Tionghoa ke dalam empat kategori.
Kelompok pertama adalah Huashang (华 商), atau pedagang Tionghoa. Ini adalah kelompok penting dalam periode awal sejarah migrasi Tionghoa ke negara-negara Asia Tenggara. Mereka terdiri dari dua subetnis besar; Hokkian dan Hakka. Pedagang Hokkian datang ke Jepang, Filipina, dan Jawa. Pedagang Hakka menyambangi Kalimantan Barat dan Thailand. Mereka mendirikan pos-pos dagang, berinteraksi dengan pribumi. Ada yang menetap, tapi banyak pula yang kembali.
Kelompok kedua adalah migrant Huagong (华工), atau para pekerja. Cheng Menhong menyebut mereka koeliearsbeiders migran. Mereka terdiri dari petani tanpa tanah, pekerja miskin di perkotaan, dan para pengangguran yang tak punya harapan hidup di negeri leluhur. Arus migrasi Huagong dimulai tahun 1850. Mereka tidak hanya membanjiri kawasan Asia Tenggara, tapi juga Amerika Utara dan Australia. Mereka tidak datang untuk menetap dan membangun kehidupan baru di tanah harapan, tapi kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan kehidupannya. Di AS, pekerja Cina terlibat di hampir semua proyek konstruksi. Mereka terikat kontrak, dan akan kembali ke negara mereka setelah kontrak berakhir. AS kebanjiran Huagong pada akhir abad ke-19. Asia Tenggara mulai kedatangan pendatang temporer ini sekitar tahun 1920.
Kelompok ketiga adalah Huaqiao (华侨), atau tamu Cina, atau Sojourner. Kata inilah yang banyak dikenal masyarakat untuk menyebut Tionghoa perantauan. Padahal, istilah ini mengandung kontroversi, karena digunakan untuk menyebut pedagang dan para kuli Tionghoa yang keluar dari negaranya. Kata ini kali pertama muncu di akhir abad ke-19. Sejak digunakan kali pertama, Hoaqiao mengandung muatan politik, hukum, dan ideologis. Muatan itu kian sarat setelah munculnya gerakan nasionalis Tionghoa.
Berbeda dengan Huasang dan Huagong, Huaqiao adalah imigran jenis baru bagi. Mereka datang dengan kesadaran dan tekad untuk hidup jauh di luar tanah kelahiran, tapi tidak ingin melepaskan keterkaitan dengan tanah leluhur. Kebanyakan dari mereka adalah pelarian politik; terlibat dalam penggulingan Manchu, atau lainnya. Mereka berusaha memelihara bahasa, adat-istiadat, dan mengaktifkan pengajaran tentang ke-Tionghoa-an kepada anak-anak mereka. Mereka mendorong emansipasi kepada warganya, mendukung pemerintahan negeri yang mereka tinggali; kolonial dan nasional.
Di Indonesia, setelah munculnya nasionalis Cina, Huaqiao terpecah ke dalam tiga arus besar. Mereka yang pro-Indonesia, berpihak ke Belanda, dan berkiblat ke negeri leluhur. Alkisah, pada suatu masa banyak orang Tionghoa yang kembali ke tanah leluhur. Penduduk Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menyebut mereka Hui Gao, resminya Gui Qiao, atau perantau yang pulang.
Ketika tiba di tanah leluhur, para Gui Qiao menyita perhatian pemerintah dan penduduk setempat. Mereka kesulitan beradaptasi, dan sampai sekian lama masih berperilaku layaknya di negara tempat mereka dibesarkan. Gui Qiao dari Indonesia, misalnya, mengenakan sandal jepit. Para wanitanya mengenakan kebaya, dan busana kaum peranakan di Indonesia. Akibatnya, mereka menjadi tontonan masyarakat di tempat leluhur mereka.
Bahkan ada yang masih menggunakan bahasa dari tanah perantauan untuk berinteraksi dengan sesama. Keadaan ini terus berlangsung, sampai generasi baru Gui Qiao muncul. Bahkan mereka yang berasal dari Indonesia ditampung di sebuah desa yang diberi nama Desa Huaqiao. Akibatnya, banyak penduduk RRT keliru menafsirkan Huaqiao. Mereka beranggapan Huaqiao adalah peratau Tionghoa yang pulang kampung. Sampai saat ini anak-anak yang lahir di Desa Huaqiao dari Indonesia masih menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari antar sesama.
Kelompok terakhir, menurut Wang Gungwu, adalah Huayi (华裔), atau keturunan Tionghoa. Ini adalah fenomena, yang diperkirakan muncul pada pertengahan abad ke-20, dan terjadi di hampir semua negara di Asia Tenggara. Tidak terlalu sulit mengidentifikasi Huayi. Saat Kerusuhan Mei 1998 terjadi, banyak orang Tionghoa kaya di Jakarta – dan kota-kota lainnya di Indonesia – menjual seluruh propertinya dan pindah ke Kanada, Australia, dan AS. Mereka menanggalkan kewarga-negaraan Indonesia, dan mengajukan permohonan kewarga-negaraan baru di tanah harapan. Mereka adalah generasi kesekian peranakan Tionghoa di Indonesia. Mereka relatif tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa, dan telah sepenuhnya menjadi Barat. Keputusan untuk pergi dari negara tempat leluhur mereka membangun kehidupan semata karena alasan politis.