Di Myanmar, keterlibatan bhiksu dalam politik telah berlangsung lama. Michael A.Aung-Thwin, dalam Of Monarch, Monks, and Men: Religion and the State in Myanmar, menulis keterlibatan bhiksu dalam politik telah ada sejak abad ke-11, atau jauh sebelum penjajahan Inggris.
Sangha, lembaga persaudaran para bhiksu, terintegrasi ke dalam negara dan masyarakat. Sangha diketuai oleh orang yang dekat dengan raja, atau pernah bertugas menjadi penasehat spiritual putra mahkota. Saat itu, Sangha berupa organisasi sederhana, karena masih sedikitnya ordo, sehingga tidak ada pertentangan faksi di dalamnya. Hubungan Sangha dan negara menjadi lebih mudah. Ini tercermin dari ritual publik, yang berpusat pada pemberian legitimasi terhadap raja oleh para bhiksu. Sebagai gantinya, raja memberikan donasi relijius.
Donasi kepada Sangha bisa berupa uang tunai atau kepemilikan permanen atas tanah-tanah pertanian. Sangha mengembangkan perekonomian agraris dengan pencetakan sawah baru. Para bhiksu tidak mengerjakan sawah itu, tapi menarik tenaga kerja dari luar, dan Kerajaan Pagan – seperti juga yang terjadi di Kamboja – harus membayar mahal tenaga kerja asing yang mengolah tanah pertanian.
Sepanjang abad ke-12 dan 13, Sangha dan negara menjadi penguasa atas seluruh tanah pertanian. Sangha menjadi satu-satunya lembaga yang independen secara ekonomi. Ironisnya, independensi Sangha diperoleh dari kemurahan hati negara. Independensi inilah yang membuat bhiksu tidak perlu mengemis; meminta sepiring nasi kepada penduduk setiap kali merasa lapar.
Setelah sekian ratus tahun, Kerajaan Pagan mulai mengalami kesulitan finansial akibat praktek ini. Berbagai cara dicoba, tapi para raja terbentur doktrin jalan jasa menuju keselamatan, yaitu suatu keharusan negara memberi donasi relijius agar mendapat keselamatan dunia dan akhirat. Meski terjadi reformasi sasana – salah satu bentuk ritual keagamaan dalam Budha Theravada – negara harus terus menyumbang dan menyumbang; dalam bentuk uang tunai atau tanah pertanian.
Praktek ini berhenti ketika negara tidak lagi memiliki tanah untuk didonasikan kepada Sangha. Aung-Thwin menulis sempat terjadi sebuah dinasti tidak lagi memiliki properti untuk diolah, sedangkan pembukaan lahan-lahan pertanian baru di kawasan perawan tidak memungkinkan lagi. Yang terjadi setelah itu adalah konflik di dalam pemerintahan, yang melemahkan sebuah dinasti. Siklus Burma tidak pernah lepas dari persoalan ini
Di abad ke-15 dan 16, Burma memasuki abad perdagangan, dan negara melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pertanian. Situasi ini mengubah hubungan Sangha dan negara. Tidak ada lagi donasi tanah, yang ada adalah donasi tunai. Negara – meski bukan satu-satunya pemegang monopoli keuangan – relatif tidak lagi mengandalkan tanah pertaniaan sebagai sumber pendanaan. Sangha memonopoli penguasaan tanah-tanah produktif. Hubungan keduanya menjadi lebih politis.
Semua itu berakhir ketika Inggris mencaplok Burma.Inggris datang dengan prinsip pemisahan negara dan gereja. Mereka tidak peduli dengan masa depan lembaga-lembaga keagamaan, dan nasib para bhiksu yang selama ini sangat tergantung pada donasi pemerintah. Ketidak-pedulian ini diperlihatkan Inggris ketika membuang Thibaw, raja terakhir Burma, ke pengasingan. Para bhiksu angkat senjata dan mengobarkan perlawanan. Inggris memberangus dengan mudah.
Raja adalah patron Sangha dan Pembela Kepercayaan. Kehilangan raja akan berdampak serius bagi masa depan Budha Theravada di Burma. Padahal, bhiksu masih punya Thathanabaing, pemimpin tertinggi bhiksu kerajaan yang ditunjuk raja, dan Inggris tidak mengambil tindakan apa pun terhadap figure ini.
Namun, Thathanabaing bukan Sangha. Ia tidak didengar, dan tidak bisa memberi sanks kepada para bhiksu yang melanggar Vinaya, atau kode etik monastik. Thathanabaing tanpa otoritas eklesiastikal atas anggota Sangha. Ketika tahun 1938 Thathanabaing meninggal, Inggris tidak berusaha mencari gantinya. Burma menjadi lebih sekuler. Inggris mempreteli peran bhiksu dalam bidang pendidikan agama kepada anak-anak, dan masyarakat. Akibatnya, para bhiksu terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial, dan psikologis.
Setelah kehilangan status terhormat dan fungsi sisio-relijiusnya, sebagian besar anggota Sangha menjadi lebih sekuler dan korup. Banyak biara tidak lagi menjadi surga bagi mereka yang ingin membangun kekuatan rohani. Bahkan biara menjadi tempat bagi orang pinggiran secara ekonomi dan politik.
Meski demikian masyarakat tetap memandang orang berjubah saffron sebagai orang layak dihormati, dan Sangha sebagai penjaga nilai dan tradisi. Penduduk Burma tetap berpegang kepada Buddha ketika menghadapi serangan agama-agama lain, terutama yang dibawa Inggris. Kritik publik terhadap ulah bhiksu jarang ditemui, tapi tahun 1935 muncul sebuah novel bertajuk Tet Pongyi (Bhiksu Modern). Novel ini merupakan kritik keras terhadap demoralisasi di kalangan para bhiksu. Inggris bereaksi keras dengan melarang peredaran buku, dan menuntut pengarangnya minta maaf.