Sempatkan menelusuri opini masyarakat Myanmar, tentu saja lewat internet, tentang Muslim Rohingya. Anda pasti kesulitan, atau mungkin tidak sama sekali, menemukan suara simpati dari masyarakat non-Muslim Myanmar terhadap pembantaian Rohingya di Arakan, atau Rakhine State.
Seolah, semoga perkiraan ini keliru, seluruh penduduk Myanmar setuju terhadap pengenyahan Muslim Rohingya dariArakan dengan cara apa pun; membunuh, mengusir, memperkosa, dan entah apa lagi. Opini mayoritas masyarakat Myanmar seakan menjadi dasar bagi pemerintah negeri itu untuk melakukan penihilan Muslim Rohingya dengan berbagai cara; penggunaan kekuatan militer, atau memprovokasi penduduk Rakhine Budha untuk angkat parang dan menyerang desa-desa Rohingya.
Pemerintah Bangladesh juga tidak pernah merasa bersalah ketika menembaki Muslim Rohingya yang berupaya lari dari pembantaian ke wilayah mereka. Dakka tidak lagi menganggap mereka sebagai Bengali, tapi Burma. Padahal, secara kasat mata Muslim Rohingya tetaplah Bengal, dengan kulit mereka yang lebih gelap, dan tidak akan pernah menjadi Tibeto-Burman seperti kebanyakan penduduk Myanmar.
Penolakan Bangladesh terhadap Rohingya lebih bermotif ekonomi. Bangladesh terlalu miskin untuk memberi makan ratusan ribu pendatang baru Myanmar. Bangladesh telah cukup padat, sehingga kedatngan Rohingya dikhawatirkan memicu ketegangan dengan penduduk setempat.
Pengingkaran, Pemusnahan
Fayas Ahmed, dalam The Situation of Rohingya from the Burmas Independence up to the present, menulis sejarah pembantaian sepanjang abad ke-20 diawali dengan pengingkaran terhadap eksistensi Muslim Rohingya pra-kolonial, Burmanisasi -- mungkin lebih tepatnya Bamarisasi – dan keluarnya UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982.
Sepanjang 60 tahun, tepatnya Myanmar lepas dari Inggris, pengingkaran dilakukan lewat kampanye sistematis dan terus-menerus oleh militer. Kalau pun ada petinggi militer yang mengakui eksistensi Rohingya, mungkin hanya Jenderal Aung San. Aung San dibunuh enam bulan sebelum Myanmar merdeka.
Burma Territorial Force (BTF) mengawali program pembersihan Rohingya dari Arakan. Di bawah U Kyaw Oo, BTF membantai Rohingya, membakar ratusan desa, dan mengusir lebih 50 ribu lainnya ke Pakistan Timur (kini Bangladesh). Padahal konstitusi Burma, sebelum menjadi Myanmar, tahun 1947 – dan berlaku sampai 1974 – mengakui Rohingya sebagai warga negara Burma.
Ada pula sejumlah kasus perkosaan terhadap wanita Muslim Rohingya. Union Military Police (UMP), unit kepolisian yang berada di bawah pemerintah pusat, juga terlibat dalam aksi ini. Mereka yang berusia tua dilarang kembali ke des-desa yang berada di bawah pengawasan BTF dan UMP.
Pembantaian mengerikan itu masih terekam di benak generasi tua Rohingya yang masih bertahan di Myanmar, melarikan diri ke luar negeri, atau menjadi pengungsi seumur hidup di Bangladesh.
U Nu, perdana menteri pertama Burma, berusaha mengatasi persoalan Rohingya. Ia mengeluarkanResidence Registration Rule of 1951. Burma mendata semua penduduk. Mereka yang dianggap orang asing, sesuai Pasal 35 peraturan itu, tidak akan didaftar.
Menariknya, pendaftaran terhadap semua warga negara Burma dilakukan kali pertama di Muangdaw – kota yang paling banyak menyimpan Muslim Rohingya. Petugas pendaftar turun menyambangi desa-desa Rohingya, dan mendaftar mendaftar semua penduduk Muslim. Petugas imigrasi memberikan Kartu Pendaftaran Nasional (NRC).
Tidak hanya itu, pemerintahan U Nu juga menunjuk banyak Rohingya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk departemen imigrasi. Selama beberapa tahun sejak keluarnya NRC, posisi pemerintahan kota Muangdaw dan Buthidaung didominasi – diperkirakan mencapai 80 persen – oleh Rohingya.
U Nu, dalam beberapa kali pernyataan di depan publik, mengakui Rohingya sebagai penduduk asli Burma. Bahkan Burma Boradcasting Services, stasiun radio milik pemerintah Burma, memberikan porsi bagi siaran berbahasa Rohingya.
U Soe Shwe Thaike, presiden pertama Burma Bersatu, menyebut Rohingya adalah penduduk asli Burma. “Saya orang Shan, dan tidak ada perbedaan antara Rohingya dan Shan dalam urusan kebangsaan,” ujarnya.
Namun masa tanpa darah Rohingya dalam sejarah Myanmar itu hanya sebentar. Tahun 1958, pemerintahan U Nu goyah. Puncaknya terjadi ketika September 1958 U Nu dipaksa menunjuk Jenderal Ne Win – kepala staf AB Burma – sebagai perdana menteri sementara.
Ne Win menjalankan agedanya sendiri. Milter Burma menyerang 27 desa Rohingya di sebelah utara Muangdaw, dan mengusir seluruh penghuninya ke Pakistan timut. Namun mereka dipulangkan setelah Burma dan Pakistan bertemu.
Tahun 1960, lewat pemilihan umum, U Nu kembali berkuasa. Ia menegaskan kembali komitmennya; mengakui Rohingya sebagai warga negara Burma, dengan mengatakan; “Rohingya sama dengan ras minoritas lain seperti Shan, Kachin, Karen, Kayah, Mon, dan Rakhine. Mereka, menurut fakta sejarah, telah tinggal di Burma selama berabad-abad. Mereka beragama Islam. Ada bukti sejarah mereka pernah hidup berdampingan dengan etnis lain selama sekian ratus tahun dalam perhimpunan.”
Tahun 1961, U Nu mengangkat Mr Sultan Mahammod Akyab sebagai menteri kesehatan dalam kabinetnya. Penunjukan ini menimbulkan pertentangan, dan memperlemah posisi U Nu di mata militer Burmai. U Nu tidak peduli. Dia tetap pada sikapnya mengakui Muslim Rohingya sabagai bagian integral dalam sejarah Burma.
Dibantai Ne Win
Kurang dua tahun setelah U Nu terpilih kembali, Jenderal Ne Win melancarkan kudeta militer pada 2 Maret 1962. U Nu, beserta Presiden Mahn Win Maung dan Hakim Agung U Myint Thein, dimasukan ke dalam tahanan rumah di kamp militer di luar Ranggon (kini Yangoon). Muslim Rohingya terjerumus ke dalam era paling kelam dalam sejarah sebagai etnis minoritas.
Melalui Burma Socialist Program Party (BSPP), Ne Win mulai melakukan pengusiran Rohingya dari kota-kota di Propinsi Arakan; Kyauktaw, Mrohaung, Pauktaw, Maybon, Minbya, dan lainnya. Rohingya dipaksa menaiki kapal menuju Buthidaung. Aparat militer menyita semua properti bergerak milik Rohingya, dan membiarkan mereka hidup di alam terbuka di tengah kota Maungdaw dan Buthidaung.
Rohingya tidak diijinkan mengunjungi Ranggon, dan dilarang mendapatkan pekerjaan di pemerintahan distrik, kota, propinsi, dan pusat. Rohingya yang terlanjut menjadi polisi harus menghadapi kenyataan dilempar ke kawasan yang jauh dari masyarakatnya, atau diusir. Sedangkan Rohingya yang menjadi pegawai negeri dipecat, mereka yang bertugas di layanan hukum ditahan tanpa alasan apa pun.
Sebagai gantinya, posisi pemerintahan di kota-kota di Arakan diisi orang-orang Burma dan Rakhine. Yang tersisa bagi Rohingya adalah profesi sebagai ulama dan guru sekolah rendahan. Muslim Rohingya yang ingin menikah diharuskan meneken perjanjian untuk tidak memiliki anak lebih dari satu.
Sebagai internal refugees, Muslim Rohingya hidup dalam sebuah kawasan – tidak ubahnya kawasan konservasi suku-suku Indian di AS – yang disebut Mayu Frontier, yang dikontrol langsung pemerintah pusat. Setiap tahun mereka digebah ke Rangoon, untuk mengikuti upacara Union Day.
Tahun 1964 Mayu Frontier dihapuskan dan dimasukan ke dalam Distrik Akyab, serta berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ne Win juga menghapuskan siaran berbahasa Rohingya yang biasa ditayangkan Burma Broadcasting Sevice (BSS), serta melarang organisasi socio-cultural apa pun.
Tiga tahun kemudian, Ne Win melancarkan upaya membunuh seluruh Muslim Rohingya di Distrik Akyab dengan cara membuatnya lapar. Ia merampas semua produksi beras dan membawanya ke Rangoon. Akibatnya, Muslim Rohingya kelaparan dan melawan. Militer Burma menjawab protes mereka dengan pembantaian di hampir seluruh desa di Distrik Akyab.
Tidak diketahui berapa yang tewas dalam pembantaian ini. Yang pasti, Ne Win melancarkan aksi lanjutan; menyita semua NRC yang dipegang Muslim Rohingya. Pers pemerintah juga menuduh Muslim Rohingya mendapatkan NRC dengan cara menyuap pejabat imigrasi di era U Nu.
Penyitaan NRC memposisikan Muslim Rohingya sebagai etnis minoritas tanpa negara (stateless). Pers Burma menyebut mereka imigran illegal dari Bangladesh, dan harus dihalau keluar. Lainnya mengatakan Rohingya tidak memiliki surat bukti yang sah sebagai warga negara.
Tahun 1977 sampai 1978, Ne Win melancarkan Operasi Raja Naga, untuk menghalau sebagian besar – kalau bisa seluruh – Muslim Rohingya dari Myanmar. Cararanya, menggunakan masyarakat Rakhine Budha dan Burma, militer meneror dan menciptakan ketakutan di kalangan Rohinghya selama baberapa bulan. Hasilnya, 300 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Ironisnya, tahun 1979, Ne Win menerima kepulangan 200 ribu Muslim Rohingya dari Bangladesh. Lainnya, sekitar 100 ribu Rohingya menolak kembali ke Burma. Mereka melarikan diri ke berbagai negara; Saudi Arabia, AS, Australia, Inggris, dan Pakistan. Ne Win sukses mengurangi populasi Rohingya.
Penolakan Resmi
Tiga tahun setelah repatriasi 200 ribu Muslim Rohingya, Ne Win meluncurkan UU Kewarganegaraan Burma (Burma Citizenchip Law) 1982. Pasa II ayat 2 membagi warga negara Burma menjadi tiga;citizens, associate citizen, dan naturalized citizen.
Penjelasannya; Citizen adalah mereka yang lahir di Burma dan dari pasangan orang Burma. Associate Citizens adalah anak-anak Burma yang lahir di Burma dari pasangan orang berkewarganegaraan Burma dan non-Burma. Naturalized Citizens adalah mereka yang lahir di luar negeri dari pasangan warganegara Burma dan non-Burma.
Setiap kelompok warga-negara; citizens, associated citizen, dan naturalized citizen, memiliki sertifikat masing-masing. Di luar kelompok ini disebut orang asing.
Pasal II ayat 3 UU itu menyebutkan bangsa-bangsa (nationals) seperti Kachin, Kayah, Karen, Mon, Shan, Burma, dan Rakhine – serta kelompok etnis lainnya bermukim di tertirori yang menjadi rumah permanen mereka sejak 1185 – adalah warga negara Burma.
Lewat UU ini, Burma secara resmi mengeluarkan Rohingya dari bangunan sosial masyarakat Myanmar modern. Namun Ne Win tidak sempat menggunakan UU ini sebagai upaya baru mengeluarkan Rohingya dari negaranya.
Pada 23 July 1988, Ne Win mengundurkan diri dari pemerintahan, menyusul aksi demo mahasiswa di jalan-jalan. Namun dalam pidato perpisahannya Ne Win memeringatakan militer akan memberangus aksi demo. “Tidak akan ada tembakan ke udara. Itu bukan tradisi kami. Tatmadaw selalu menembak sasaran untuk melumpuhkan,” Ne Win mengancam.
Meski telah mundur, Ne Win diyakini masih menjalankan pemerintahan dari belakang layak. Ia membentuk juta militer pimpinan Jenderal Saw Maung, dan mengakhiri harapan akan adanya demokrasi.
Saw Maung tidak hanya memberangus kelompok pro-demokrasi, tapi juga menjalankan agena lama militer; membersihkan Rohingya secara lebih sistematis. Namun upaya ini tak berjalan mulus, karena junta militer harus menyelenggarakan pemilu demokratis tahun 1990.
Militer sibuk berkampanye untuk mengimbangi popularitas Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokratik (NLD). Saw Maung tidak punya pilihan ketika harus merangkul Rohingya agar ikut dalam pemilu. Rohingya memilih Aung San, dan NLD menang telak secara nasional.
Saw Maung berreaksi keras. Membatalkan hasil pemilihan umum, dan menahan Aung San Suu Kyi. Tahun berikutnya, sebagai upacara menari musuh bersama, militer Myanmar menjalankan agenda lamanya; membersihkan negara dari Rohingya.
Sepanjang 1991-1992, sebanyak 270 ribu Rohingya membanjiri Bazar-Teknaf Cox – jalah di Bangladesh. State Law and Order Restoration Council (SLORC), sebuah lembaga yang menjalankan pemerintahan Myanmar, menggelar Operasi Phyi-Tha Ya; menculik semua pengusaha Rohingya dan mengirimnya ke kamp kerja paksa selama tiga sampai empat tahun tanpa lebih dulu diadili.
Lewat operasi ini, SLORC merampok semua uang tunai, kebanyakand alam bentuk mata uang asing, milik pengusaha Muslim Rohingya, dan menyita seluruh propertinya. Operasi ini pula yang menjadi penyebab utama eksodus Rohingya ke Bangladesh.
Tahun 1994, SLORC mengosongkan desa-desa Muslim Rohingya di Mrauk-U, dan membawa 10 ribu penghuninya ke Maungdaw. Ribuan Rohingya lainnya dari desa-desa di Kyauktaw juga diperintahkan keluar dari desa mereka, dibawa ke Maungdaw dan dikapalkan ke Bangladesh.
Pada tahun yang sama, intelejen militer – di bawah pimpinan Jenderal Khin Nyunt, mengambil paksa 4.000 pemuda Muslim Rohingya dari keluarga mereka untuk dibunuh. Tidak ada yang selamat, dan sampai saat ini tidak ada yang tahu di mana mereka dimakamkan. Dugaan sementara menyebutkan mayat mereka dibakar untuk menghilangkan jejak.
Fayas Ahmed menulis SLORC seperti dikejar target. Mereka mereka harus membersihkan Myanmar dari Muslim Rohingya dalam satu dekade. Akibatnya, hampir tidak ada tahun tanpa darah dan teror bagi Muslim Rohingya sepanjang 1990-an.
Menurut Ahmed, ada empat program yang dijalankan SLORC. Pertama, kolonisasi tanah-tanah Muslim Rohingya. Mereka menghancurkan semua properti Muslim Rohingya, membongkar makam-makam keramat, masjid, dan sekolah-sekolah Muslim. Sebagai gantinya, SLORC membangun pagoda, monasteries, dan gedung-gedung pemerintah.
Setelah pembangunans selesai, SLORC memukimkan masyarakat non-Rohingya, dan mendatangkan pendeta-pendeta Budha. Anehnya, SLORC memaksa Muslim Rohingya memberikan kontribusinya untuk semua proyek ini.
Kedua, de-Muslimization. Program ini mulai dilakukan 2004. Caranya, membunuh atau mengusir semua ulama, serta memenjarakan semua pemimpin Rohingya sampai waktu tak terbatas. SLORC membersihkan Arakan dari masjid, dan memprovokasi masyarakat pemeluk Budha untuk menyerang Muslim Rohingya.
Media pemerintah melancarkan propaganda anti-Muslim dengan menerbitkan buku, dan pidato-pidato politisi sepanjang 2003. Seluruh buku dijual secara terbuka, dan menjadi bacaan wajib penduduk Myanmar.
Ketiga, depopulasi. State Peace and Development Council (SPDC) secara sistematis membenturkan masyarakat Budha; Rakhine dan Burma, dengan Muslim. Setelah itu mendorong orang-orang Rakhine dan Burma untuk mengisi desa-desa yang ditinggalkan Muslim Rohingya.
Keempat; Isolasi dan militerisasi. SPDC melarang Muslim Rohingya keluar dari desa-desa mereka menuju Akyab, atau kota-kota lain di Arakan, apalagi ke Rangoon. Pemerintah Myanmar secara sistematis mengisolasi Rohingya, dan hanya memberi satu jalan keluar bagi mereka, ke perbatasan Bangladesh.
Untuk mengamankan program ini, SLORC menempatkan 15 batalion angkatan darat di Buthidaung. Para serdadu ini tidak hanya berupaya mencegah Rohingya keluar dari desa-desanya, tapi juga dikerahkan untuk ikut meringatkan upaya pemeluk Budha membantai Muslim Rohingya jika terjadi bentrokan.
Program lainnya adalah pembatasan kelahiran, operasi pemerkosaan terhadap wanita Muslim Rohingya, dan teror secara berkala. Semua ini masih akan berlangsung sampai sekian puluh tahun ke depan, sampai Myanmar benar-benar bersih dari Rohingya dan pemeluk Muslim.