Bagi pemerhati Kamboja dan Khmer Merah, pasti pernah dengar istilah Year Zero, atau tahun nol. Istilah ini diketahui dunia setelah Francois Ponchaud, misionaris Katolik yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kampoja, meluncurkan buku dengan judul sama. Pendapat lain, seperti tertera dalam buku Cambondia: The Widening War in Indochina, istilah ini kali pertama ditemukan Jean Lecouture, wartawan Le Monde dan sejarawan asal Prancis.
Year Zero yang dimaksud Ponchaud dan Lecouture adalah sebuah massa, antara 1975-1979, ketika Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, dan Khieu Samphan, mengawali pembangunan masyarakat agraris kolektif Kamboja. Year Zero kerap dikaitkan dengan Killing Field, karena pada masa empat tahun itulah terjadi pembantaian 1,5 juta rakyat Kamboja, dengan Pol Pot sebagai tertuduh utamanya.
Namun dunia tidak pernah bertanya kepada Samphan, Chea, dan Sary -- tiga pentolan Khmera Merah yang masih hidup -- mengenai apa itu Year Zero. Adalah Thet Sambath yang melakukannya dalam sebuah wawancara rahasia dengan Chea, sebelum sang pemimpin ditangkap. Sebelum mendengar pengakuan Chea soal Year Zero, alangkah bijak jika kita melihat situasi perekonomian Kamboja sebelum Khmer Merah berkuasa. Terutama pada masa Norodom Sihanouk dan Lon Nol.
Masyarakat Kamboja pra-Khmer Merah terpecah ke dalam dua kelompok; sebagian besar tinggal di pedesaan, segelintir tinggal di kota-kota, terutama ibu kota Phnom Penh. Tidak berbeda dengan Batavia dan sekitar tahun 1910, Phnom Penh dihuni para kapitalis, desa-desa di sekelilingnya disesaki kaum petani tanpa tanah.
Kapitalis menjerat petani dengan utang dan utang, menyiksa dan membunuh mereka yang tak mampu bayar, atau mengusir mereka dari tanah pertanian tempat mereka bertahan hidup. Petani merespon dengan melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya. Ketika AS menggelar carpet bombing untuk memutus Ho Chi Minh Trail, Pol Pot menggunakan situasi ini untuk merekrut sebanyak mungkin orang desa menjadi pasukannya dengan mengeksploitasi kebencian terhadap orang kaya yang memerasa rakyat kecil.
Tahun 1975 Khmer Merah memasuki Phnom Penh. Khmer Merah memiliki agendanya sendiri; mengosongkan kota, merampas semua properti dan harta milik orang kaya, dan memaksa penghuni kota bekerja di desa-desa dengan sistek kolektif. Setiap individu tentara memiliki agenda masing-masing; balas dendam.
Akibatnya, pembantaian tidak bisa dihindarkan. Setiap orang merasa berhak membunuh siapa saja yang tidak disukai, dan para orang kaya -- dan tukang kepruknya -- yang menyiksa, atau bahkan membunuh, keluarga mereka akibat tak bayar utang adan mengusir mereka dari tanah pertanian.
Chea punya versinya sendiri mengenai semua ini. "Year Zero adalah menihilkan semua; korupsi, perjudian, pemukulan, dan penusukan, kemalasan, seraya membangkitkan sosialisme dan kolektivisme," ujar Chea.
Yang juga harus dinihilkan, masih menurut Chea, adalah eksploitasi finansial yang dilakukan orang-orang kaya terhadap orang miskin. "Tidak ada lagi hutang. Para pengutang senang, karena terbebas dari beban finansial," lanjutnya. "Tapi kreditor marah."