Pada 1892, Kepolisian Batavia dibuat pusing oleh kemunculan Si Pitung. Van Till dalam Colonial Criminal in Java 1870-1910, menulis Si Pitung menjadi populer karena mendapat banyak liputan pers, yang dikonsumsi masyarakat sekujur Batavia -- yang tercekik blasting (pajak) dan membenci tuan tanah -- sebagai hiburan, tidak ada bedanya dengan infotainmen saat ini.
Si Pitung membangun reputasinya setelah melarikan diri dari penjara. Ia juga dianggap memiliki kesaktian, bisa mengubah diri menjadi binatang, atau menghilang, saat disergap aparat Kepolisian Batavia.
Karier Si Pitung di dunia vrij man (preman) sangat singkat, yaitu hanya enam bulan, 1892-1893. Ia memimpin gerombolan kecil perampok, yang setiap saat menyatroni rumah-rumah tuan tanah di sekujur Ommenladen -- kawasan selatan Batavia -- dan Buitenzorg (Bogor - red), tapi tidak ada cerita Si Pitung membagikan harta rampasannya kepada orang kecil.
Ketika Si Pitung beraksi, Kepolisian Batavia dipimpin Adolf WV Hinne -- mantan pelayan, deputi mandor kehutanan, dan kepala kantor pos Batavia yang nekad menjadi kepala polisi. Hinne bukan polisi profesional, tidak mengenal metode investigasi, apalagi mendalami kriminologi.
Ia bekerja dengan naluri; untuk menaklukan preman, ia berteori, seseorang harus memahami jalan pikiran preman dan perilaku alamiahnya. Ia membentuk jaringan detektif pribumi, yang terdiri dari para preman tanggung di semua kampung.
Satu hal lagi, Hinne tahu betapa pentingnya mendekati pers. Ia memanfaatkan kedekatan dengan beberapa koran untuk menyebarkan cerita bohong soal Si Pitung. Salah satunya, Pitung adalahplayboy, pezinah, dan memperkosa seorang wanita saat melakukan aksi perampokan.
Hinne tahu preman kampung bersedia melakukan apa saja demi sekeping uang untuk membiayai perilaku hedonis kampungannya. Hinne juga tahu para tuan tanah yang ketakutan dirampok mendukung sepenuhnya upaya Kepolisian Belanda menangkap Si Pitung.
Lewat jaringan detektif pribumi, Hinne menghimpun banyak informasi. Hinne memperkenalkan metode interogasi yang tak lazim; dengan kekerasan fisik dan psikis, kepada siapa saja yang dianggap bisa memberikan keterangan soal Si Pitung.
Hinne dan Si Pitung pada akhirnya menjadi simbol konflik antar kelas. Si Pitung, dengan aksinya merampok orang-orang kaya, mewakili kaum miskin di tanah-tanah partikelir, dan Hinne adalah representasi tuan tanah Tionghoa, Arab, dan kulit putih.
Di kawasan pekuburan di Tanah Abang, Hinne menjebak Si Pitung. Sang figur proto-nasionalis -- yang entah mengapa dalam film digambarkan berpakaian merah dan berkopiah -- tewas tertembak. Van Till tidak bercerita soal peluru emas, karena hampir tidak mungkin bagi Kepolisian Batavia -- yang bekerja dengan anggaran minim -- membuat peluru emas.
Entah mengapa orang Betawi percaya begitu saja bahwa Si Pitung ditembak peluru emas. Padahal, interpretasi 'ditembak dengan peluru emas' bisa sangat menghina. Bahwa, Si Pitung tidak mati, tapi diguyur emas agar menghentikan aksinya.
Pribumi Batavia meratapi kematian Si Pitung, pemukim kulit putih dan tuan tanah Tionghoa memuji Hinne. Si Pitung seolah menyediakan jalan bagi Hinne untuk mencapai popuoaritasnya di Batavia. Ia mendapat liputan luas media massa saat itu, dan menjadi selebritis kagetan.
Romantisme Betawi
Hinne boleh saja populer berkat sukses membunuh Si Pitung. Masyarakat pribumi Batavia juga punya cara menghibur diri, meski Si Pitung telah tiada. Caranya, mencomot kisah hidup Rinaldo Rinaldini untuk membangun cerita tutur tentang Si Pitung.
Entah kebetulan atau tidak. Rinaldini dan Si Pitung relatif sama; tewas akibat pengkhianatan kawan dekat. Seperti Rinaldini, Si Pitung relatif tidak dikenal, piawai menyamar, hingga tidak ada orang yang mengenal persis wajahnya. Lainnya, keduanya juga lari dari penjara.
Rinaldini diceritakan dari satu ke lain panggung opera. Si Pitung dituturkan dari satu ke lain panggung Lenong, teater tradisional, Betawi. Hampir tidak ada teks asli tentang Si Pitung. Akibatnya, selalu ada versi baru. Setiap versi mengandung spekulasi, sampai akhirnya orang tidak tahu mana yang asli.