Dalam Colonial Criminal in Java 1870-1910, Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till bercerita tentang tiga figur bandit beken; Sakam, Si Gantang, dan Si Pitung.
Dua figur pertama mendapat porsi cerita lebih panjang, Si Pitung tidak. Aneh. Tapi menjadi tidak aneh karena Schulte Nordholt dan Van Till tampaknya mendasarkan penelitiannya pada Koloniaal Verslaag dan berita koran.
Sakam Si Misterius
Pada 26 Agustus 1886, Kepolisian Batavia mendapat kabar gembira. Arkam, pencuri beken dan jawara Pasar Serpong, menyerahkan diri ke Demang Kebayoran -- penguasa pribumi lokal. Dua pekan kemudian, dua orang asal Banten ditangkap di Gang Petjenongan. Salah satu dari mereka diduga bernama Sakam. Cerita tentang Arkam lenyap. Fokus kepolisian tertuju kepada Sakam. Sosok ini menjadi pembicaraan hangat di balai kota Batavia yang kusam. Mata-mata polisi mengakui satu dari dua orang yang ditangkap itu Sakam, tapi saksi lain tidak yakin. Polisi Batavia mencari cara, yaitu dengan meminta keterangan penjahat lain.
Seorang penjahat asal Tangerang mengatakan orang ini bukan Sakam. Sebab, kata si penjahat kampung itu, Sakam bisa menghilang jika ditangkap. Maklum, mitos saat itu menyebutkan semua penjahat memiliki ilmu ngilang. April tahun berikut, setelah setengah tahun ditahan, pengadilan terhadap orang yang diduga Sakam dimulai. Sakam menghadapi tuduhan melakukan dua pembunuhan, sehingga kasusnya ditanganiOmgaand Gerecht -- dewan hakim yang terdiri dari dua orang Eropa (ketua dan sekretaris), empat hakim pribumi, jaksa, dan penghulu atau hakim Islam. Lebih seribu orang berkumpul di depan Balai Kota Batavia, kini Museum Fatahillah, untuk menyaksikan persidangan itu. Sakam dibawa ke ruang sidang yang dipenuhi orang Eropa dengan kawalan 36 serdadu.
Kepolisian Batavia merangkai cerita. Mereka tahu Sakam akan datang ke Batavia, dan segera menyusun rencana penangkapan bersama mata-mata pribumi. Saat Sakam tertidur pulas, seorang perempuan pribumi -- yang juga dipekerjakan sebagai mata-mata -- mencuri keris, benda sakti yang bisa membuat Sakam menghilang. Menurut polisi, wanita juga ditangkap untuk memberikan kesaksian.
Terdakwa mengaku dirinya bukan Sakam, tapi Soeheirie -- mata-mata polisi dari Banten. Pengakuan ini menggugurkan skenario polisi. Terlebih, pejabat kepolisian Banten -- yang dipanggil Kepolisian Batavia -- memberi kesaksian orang itu bukan Sakam. Sejumlah saksi lainnya juga membantah terdakwa adalah Sakam. Satu-satunya saksi yang menyebut orang itu sebagai Sakam adalah seorang janda yang suaminya menjadi korban pembunuhan Sakam.
Kepolisian Batavia dipermalukan. Bagaimana mungkin Kepolisian Batavia dan Banten terlibat saling bantah. Konsekuensinya, sesi pengadilan terhadap tersangka diduga Sakam dilakukan di ruang tertutup. Sepekan kemudian pengadilan membebaskan tersangka diduga Sakam, atau Soeheirie. Algemeen Dagblad, surat kabar terkemuka saat itu, terkejut dengan pembebasan itu. Alasannya, bukankah pengadilan belum mendengar keterangan semua saksi, dan beberapa saksi ternyata mengubah pikirannya. Omgaand Gerecht tampaknya tidak ingin malu, dengan menghukum orang yang salah.
Kepolisian Batavia dipermalukan, karena menjadi korban kebohongan mata-mata pribuminya. Untuk menutupi rasa malu, Kepolisian Batavia menyeret sang janda ke meja hijau dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu. Lebih memalukan lagi, Soeheirie mengungkap cerita sebenarnya. Ia ditugaskan ke Batavia untuk melacak Sakam, tapi dalam perjalanan ditangkap dan dikirim ke Batavia sebagai Sakam.
Saat dibebaskan di depan Gedung Balai Kota, ratusan masyarakat menyambutnya. Soeheirie diperlakukan bagai pahlawan. Ia diantar berkeliling Batavia, dan ziarah ke Luar Batang. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib sang janda pemberi keterangan palsu, dan polisi yang menyusun skenario penangkapan Sakam.
Yang pasti, tak lama kemudian koran-koran Batavia memuat aktivitas Sakam di Banten. Muncul pula kabar, sejumlah warga melihat Sakam beraksi di jalan-jalan. Dalam situasi seperti itu, siapa pun bisa dianggap Sakam oleh penduduk dan polisi. Seorang intel muda dari kepolisian Banten mengalaminya. Dalam perjalanan dari Serang ke Batavia, sang intel muda kepolisian Banten kehabisan uang. Ia singgah di sebuah warung nasi, dengan maksud meminta makan.
Beberapa saat setelah dia duduk, semua orang yang ada di warung berpikir dia adalah Sakam. Orang-orang itu menawarkan apa saja; nasi dan lauk pauk, kopi, dan uang.
"Silahkan makam Sakam, tapi jangan ganggu kami," ujar salah seorang diantaranya, seraya memenuhi kocek kosong sang intel dengan koin.
Oktober tahun yang sama, kepolisian mengeluarkan pengumuman akan memberi hadiah 2000 florin kepada siapa saja yang berhasil menangkap Sakam. Tindakan ini membawa hasil.
Biroe, mantan narapidana yang pernah satu sel penjara bersama Sakam dan menemaninya dalam pelarian di kawasan Tangerang dan Cikande, berkhianat. Biroe mendatangi Bupati Serang, dan menyampaikan informasi keberadaan Sakam. Bupati, bersama kepolisian Banten, menyusun rencana. Sang bupati menginstruksikan Biroe ke tempat persembunyian Sakam dan meracuninya.
Biroe menuruti perintah. Ia datang dengan membawa buah kecapi yang dibubuhi racun. Sakam tak curiga. Ia memakan buah kecapi bawaan Biroe. Hari itu juga Sakam jatuh sakit. Biroe beraksi dengan mengambil senapan dan senjata lain milik Sakam dan lari. Jelang dini hari, saat Sakam tertidur lelap, polisi datang dan menangkapnya.
Tidak ada pengadilan kedua untuk Sakam. Dalam perjalanan ke Serang, Sakam dihabisi di tengah jalan. Caranya, menjepit leher sang penjahat dengan bambu sampai mati. Kematiannya menyelamatkan martabat kepolisian kolonial; Banten dan Batavia.
Si Gantang Mengejek Negara
Dalam editorial berseri berjudul Onze Mafia, surat kabar Bataviaasch Niewsblad bercerita tentang Si Gantang -- figur yang mendadak populer di dunia kejahatan. Kisah dimulai dengan pelarian Si Gantang, yang saat itu sedang menunggu eksekusi mati. Saat melarikan diri, Si Gantang telah menjalani enam tahun penjara. Seperti Sakam, pelariannya menjadi konsumsi pers. Si Gantang mengejek otoritas kepolisian kolonial yang tak bergigi, dan membut Belanda menjadi tertawaan pribumi.
Si Gantang kerap hadir di depan publik dengan mengenakan topi asisten residen, dan anak buahnya memakai seragam polisi kolonial. Tidak ingin dipermalukan terus-menerus, kepolisian kolonial berupaya menangkap dan mengirimnya ke asrama militer. Mengutip sejumlah sumber, Bataviaasch Niewsblad memberitakan Gatang senang mendengar kabar itu, karena akan berhadapan dengan lawan sepadan ketimbang meladeni polisi pribumi yang tak berguna.
Ejekan lain yang membuat telinga otoritas kolonial merah adalah; "Sayang, polisi militer itu kehabisan peluru sebelum menangkap saya. Kalau boleh berbaik hati, saya bersedia meminjamkan peluru."
Si Gantang tidak hanya memalsukan seragam polisi kolonial, tapi juga mengorganisir pemerintahan independen. Ia menarik pajak dan meminta layanan rutin dari penduduk di wilayah kekuasaannya.
Penduduk harus membayar pajak dalam bentuk uang atau ternak. Sedangkan layanan yang diminta Si Gantang kepada penduduk adalah setiap orang harus bersedia mencuri untuknya. Saat perampokan atau pencurian dilakukan penduduk terhadap penduduk lain berlangsung, kelompok Si Gantang berjaga-jaga di areal strategis untuk mencegah terjadinya intervensi pihak lain.
Si Gantang bukan Robin Hood, atau penjahat budiman. Ia merampok siapa saja; mulai dari petani pribumi sampai orang kaya Tionghoa dan Eropa. Para tuan tanah yang resah hanya punya satu pilihan; menemui Gantang dan membeli rasa aman dengan menyetor sejumlah uang. Jika setoran mandeg, Gantang akan meminta penduduk desa menyerang rumah tuan tanah.
Gantang beroperasi di Bekasi. Ia bukan penjahat biasa, tapi meletakan dasar-dasar organiassi mafia di negeri ini. Layaknya Al Capone, ia membangun jaringan dengan penguasa, yaitu Demang Bekasi dan penduduk kulit putih penyedia senjata.
Hubungan Gantang dan Demang Bekasi berbeda dengan kemitraan Regent dengan preman kampung. Gantang tahu Demang berada pada posisi lemah saat berhadapan dengannya, sehingga bisa leluasa memaksakan kehendak. Sedangkan hubungan regent dengan preman kampung adalah antara tuan penyedia dana dengan para informan dan tukang kepruk. Hubungan ini relatif sama dengan AS dan para agennya yang berkulit cokelat di Indonesia saat ini.
Gantang tahu cepat atau lambat pemerintah kolonial akan mengerahkan seluruh kekuatan untuk menangkapnya. Jika itu terjadi, ia tidak akan bisa lari. Namun situasi berpihak pada Gantang, dan sang mafia memanfaatkannya untuk mengantisipasi kemungkinan tertangkap. Situasi itu adalah merebaknya perampokan di sekujur Omelanden. Penduduk menangkap beberapa, dan menyerahkannya kepada polisi. Hampir semua perampok yang tertangkap mengaku anak buah Gantang, bahkan ada yang mengaku bernama Gantang.
Kepolisian kolonial kebingungan. Muncul asumsi, kelompok Si Gantang telah sedemikian besar, dengan wilayah operasional sedemikian luas, tidak hanya lintas kampung, tapi juga antardistrik. Asumsi lainnya, kelompok lain mencatut nama Gantang. Maklum saat itu belum ada UU Hak dan Kekayaan Intelektual dan Dirjen Hak Paten.
Ketika kepolisian kolonial mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Gantang, mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali para bromocorah kampung yang mengaku anggota kelompok Gantang. Polisi tak bisa melakukan apa-apa kecuali bingung. Akhirnya, seseorang yang diidentifikasi sebagai Gantang dikabarkan terlihat di sebuah desa di dekat Kendal, Jawa Tengah. Polisi setempat, berdasarkan keternagan penduduk, yakin orang itu adalah Gantang karena berasal dari Batavia.
Terlalu mencolok jika kepolisian Batavia dan Kendal, terutama yang kulit putih, masuk desa dalam jumlah besar. Ditempuh cara lain. Polisi masuk ke desa sebagai pemburu. Pemimpin lokal diminta tutup mulut, dan mengumpulkan semua laki-laki dengan dalih untuk didaftar sebagai wajib pajak. Setelah semua lelaki dikumpulkan, 'pemburu' datang untuk menangkap seorang lelaki yang diyakini bernama Gantang. Lelaki itu mengatakan dirinya bukan Gantang, tapi So Oenoes, dan minta dilepaskan.
Idenfikasi final memperlihatkan Si Oenoes memiliki ciri-ciri sebagi bandit. Bertinggi 1,8 meter, sama dengan Si Gantang, kumis mengesankan, terdapat banyak bekas luka, codetan di muka, dan bekas luka sabetan rotan di punggung, seperti layaknya orang yang pernah masuk penjara. Polisi juga menemukan jejak penyakit kelamin.
Berbeda dengan Sakam, Gantang tak dibunuh di tengah jalan. Ia tiba di Batavia dengan selamat. Yang mengejutkan, meski semua koran memberitakan penangkapannya, pengadilan Gantang tak menyita perhatian masyarakat. Pertanyaannya, apakah Si Oenoes benar-benar Si Gantang yang dicari. Apakah polisi sekadar tangkap narapidana kambuhan, dan menyebutnya Si Gatang, demi memperbaiki reputasi dan otoritasnya di tengah masyarakat mencibir.
Menurut Bataviaasch Niewsblad, Gantang memiliki markas di sebuah kampung di kawasan Pondok Gede. Kampung itu hanya sekitar sepuluh mil dari Batavia, tapi polisi tak pernah menyambangi.Javabode, surat kabar lainnya, punya versi lain. Gantang tidak lagi aktif di kawasan itu tapi mengasingkan diri di kawasan pegunungan Priangan, bersama pejabat kolonial yang selama bertugas menerima suap dan telah pensiun.
Sampai saat terakhir menjalani hukuman di tiang gantungan, orang itu tetap mengaku bukan Gantang. "Saya Si Oenoes, bukan Gantang," ujarnya. Pengadilan tak peduli. Demi memuaskan rasa aman penduduk kulit putih, orang -- yang mungkin benar bukan Gantang -- harus tewas di tiang gantungan.
Beberapa hari setelah eksekusi mati terhadap orang dituduh Gantang, kepolisian Batavia kembali melakukan penangkapan terhadap komplotan perampok. Salah satu mengaku bernama Gantang. Pada kalimat akhir editorialnya, Bataviaasch Niewsblad menulis; "Kita tidak pernah tahu berapa banyak Gantang di Batavia."