Pemujaan terhadap leluhur telah
memiliki sejarah yang panjang di Tiongkok. Para ahli arkeologi telah menemukan
bahwa pemujaan semacam itu telah dilakukan semenjak jaman prasejarah (sekitar
1,7 juta tahun yang lalu hingga abad ke-21 SM). Dengan berkembangnya pertanian,
orang memuja langit (tian)dan bumi (di) dengan harapan memperoleh hasil panenan
yang baik.
Hal ini sesungguhnya adalah merupakan pemujaan terhadap alam. Jenis lain pemujaan adalah pemujaan terhadap nenek moyang, dimana pada masa itu orang mempersembahkan sesuatu pada nenek moyang mereka, serta berdoa agar mendapatkan berkah sebagai hasil persembahan tersebut.
Bukti bahwa bangsa Tionghoa sudah memiliki ajaran ini ditemukan pada peninggalan arkeologi di Pan Bo, propinsi Shan Xi. Dimana pada sekitar tahun 4000 sebelum Masehi orang Tionghoa telah mengenal pranata sosial dan keagamaan, seperti ditemukannya kuburan-kuburan yang telah memiliki kaidah fengshui, alat-alat upacara keagamaan, dan lain sebagainya.
Untuk mengamankan kekuasannya, raja menggabungkan pemujaan alam dan nenek moyang serta menciptakan konsep tentang Shang Di ataupun diartikan kaisar pendahulu. Mereka kemudian menyatakan dirinya sebagai keturunan dari Shang Di tersebut.
Meskipun pada jaman-jaman berikutnya konsep mengenai Shang Di ini berkembang terus, namun kita memahami bahwa awal mula pemujaan terhadap Shang Di adalah berasal dari pemujaan alam dan nenek moyang.
Dikatakan, Kelenteng atau miao sebenarnya adalah tempat ibadah bagi agama tradisi Tionghoa yang memiliki akar dari kebudayaan khas Tionghoa yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain. Di dalamnya memuat unsur-unsur Tao, Buddha dan Konghucu. Ketiga unsur tersebut saling mempengaruhi dalam sejarahnya yang panjang. Padahal semestinya ketiga hal tersebut adalah merupakan satu ramuan tersendiri yang memiliki akar muasal dari agama asli bangsa Tionghoa, yang sering disebut agama tradisi shamanistik yang kemudian menjadi agama Tao setelah Zhang Daoling.
Agama yang dipeluk oleh sebagian warga etnik Tionghoa yang bersembahyang di Kelenteng-kelenteng sebenarnya adalah merupakan ajaran yang berakar semenjak lebih dari 5.000 tahun yang lalu di sekitar Sungai Kuning.
Waktunya yang tepat tidak diketahui karena pada waktu itu belum ditemukan sistem penanggalan. Hanya saja karena awal perkembangannya belum terbentuk ke dalam sebuah institusi, orang hanya menjalankan ajaran nenek moyang itu tanpa tahu apa nama ajarannya dan bahkan tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh
mengenai konsep-konsep ajarannya.
Memang pada waktu itu bentuk kepercayaannya masih relatif belum berkembang seperti pada periode berikutnya, tapi inilah asal muasal kepercayaan nenek-moyang Bangsa Tionghoa, yang mungkin lebih bersifat shamanistik.
Tidak seperti bangsa2 lain di dunia, di usianya yang masih sangat muda, masyarakat tiongkok sudah tidak lagi hidup dalam dunia mitologi, dimulai pada dinasti Zhou, memuncak pada zaman Negeri berperang, para filsuf telah membuat interpretasi rasional terhadap mitologi purba. Raja dengan empat wajah pun dijabarkan sebagai raja dengan empat wakilnya.
Gerakan rasional ini diawali dari wilayah utara, dengan perlahan merambah ke selatan. kita bisa menyaksikan aneka kitab yang ditulis para empu yang berasal dari utara, seperti Confucius, Menzius, Han feizi yang sangat analitis, dibandingkan dengan gaya empu selatan seperti Zhuangzi yang intuitif. Tapi cara pandang kedua2nya tetap sudah jauh meninggalkan dunia mistik.
Tradisi berpikir rasional ini juga berimbas terhadap pemikiran terhadap alam semesta, terhadap kehidupan dan kematian. Suatu saat, murid Confusius bertanya ke gurunya: "bagaimana tentang kematian?" Jawabnya:" kita masih belum cukup memahami hidup, untuk apa bicara tentang kematian?" dan lihatlah Zhuangzi: "saya akan senang menyaksikan perkembangan fisik saya, dari tubuh yang bugar lama kelamaan menyusut, berubah bentuk lama kelamaan terpuruk, melebur dengan alam semesta." Dua empu dari dua faham yang sering bertentangan, memandang dari dua sisi yang berlainan, ternyata berujung pada titik yang sama saat bicara tentang kematian.
Jika kematian tak lagi menakutkan, tak lagi menarik untuk dibicarakan, faham agama yang manapun akan sulit tumbuh dengan subur. Murid confusius akan disemprot jika masih membicarakan tentang dewa dan iblis. Murid Tao akan ditertawai jika masih mempermasalahkan hidup mati.
Memang, orang tionghoa adalah orang yang sangat profan, semua dilihat dari kacamata duniawi, sangat mementingkan nilai praktis. dia tidak pernah terjebak kepada fanatisme agama. Saat agama Budha masuk, awalnya sangat menonjolkan warna tragedinya, yang ditonjolkan adalah kehadiran neraka, dan pesan2 untuk menanggalkan unsur duniawi segera. Pandangan2 yang sangat militan ini jelas tak sesuai dengan hati kecil orang Tionghoa.
Maka mereka mengadakan revisi dan penyesuaian di sana sini. Pertama, mereka tak lagi serius membicarakan neraka, kedua, mereka mendekatkan agama budha kearah ajaran confusius, agar lebih memperhatikan kehidupan sekarang dari pada bicara tentang kehidupan nanti, maka lahirlah Budha Mahayana, yang memberi nilai lebih pada manusia yang ingin mengabdi pada masyarakat, bersedia menolong sesama. Perjuangan individu dialihkan ke perjuangan untuk sesama.
Tidak hanya dibidang praktis, di bidang filosofis inti ajaran Budha pun, mereka mengadakan pemikiran Dekontruksi. Maka lahirlah Zen budhisme (Chan). Kali ini yang berperan banyak adalah pemikiran Tao. Boleh dibilang, Chan adalah infiltrasi Taoisme ke dalam Budhisme. Ajaran dogmatis yang sangat ketat dan menuntut ketaatan umum, mereka cairkan dengan konsep kesadaran yang sangat pribadi (mirip dengan gerakan para Sufi di agama Islam).
Dari luar kita sering melihat masyarakat Tionghoa khusuk menjalankan upacara ritual. Seakan akan mereka adalah orang yang sangat taat menganut suatu ajaran "agama". Namun sebenarnya mereka hanya menjalankan "agama" nya ini pada saat upacara2 singkat tersebut, setelah itu, mereka tak lagi memusingkan hal2 diatas, mereka tetap menjalankan kehidupan praktis mereka tanpa sedikitpun memikirkan agamanya.
Mereka hanya memandang agama dari segi manfaat praktis, saat mereka sembahyang yang paling banyak diminta pasti berbagai rejeki duniawi. Jika ada kepercayaan lain yang dapat mendatangkan rejeki, mereka pasti akan menyambutnya dengan antusias pula. Jangan heran kalau melihat orang Tionghoa di Jawa wajib melakukan upacara selamatan ala Islam jawa. Dan lihatlah, Gunung kawi di Jatim begitu laris didatangi mereka, padahal yang dimakam adalah beragama islam.
Sikap sinkretisme inilah yang mendasari lahirnya Tri Dharma atau Sam kauw atau San Jiao. Di kuil, orang Tionghoa menaruh para tokoh Budha, Tao dan Khonghucu sama tingginya. Maka jika orang Tionghoa hanya disebut sebagai penganut ajaran Khonghucu, sangatlah bias.
Pernah pada suatu waktu, seorang teman yang beragama Islam bertanya: "Mengapa sangat sulit membujuk orang tionghoa masuk Islam?" saya hanya berkata: " Jika kamu tidak menghujat kepercayaan orang Tionghoa, pasti mereka dengan mudah menerima ajaranmu." Saya pun percaya, jika dibiarkan secara alamiah, tidak dengan sikap bermusuhan, apa lagi perang, di Indonesia akan lahir Tetra dharma, akan ada tokoh Islam yang masuk dalam altar klenteng. Tapi mungkin hal ini akan memancing amarah umat militan dari agama yang bersangkutan.
Berbagai Teori Seputar Kwan Im
Ada suatu masa di Tiongkok dimana ada begitu banyak aliran kepercayaan. Dimasa Dinasti Tang misalkan , ada ajaran Persia [Mazdaisme , Zoroastrianism , Manicheanism, dstnya] , Islam , Kristen Nestorian , Buddha dan tentunya , Confucianisme dan Taoisme. Dari kemunculan berbagai religi itu , interaksi diantaranya tidak terhindarkan.
Misalkan salah satu figur seperti Kwan Im. Ada berbagai teori bahwa Kwan Im , salah satunya itu dibilang dari pengaruh Kristen Nestorian. Pada masa Dinasti Tang , Kristen Nestorian berkembang di Tiongkok , tapi teori ini masih mentah dan tidak berdasar. Kwan im yg aslinya pria dibuat menjadi wanita dengan beberapa faktor. Salah satunya adalah budaya maternalistik yang masih tersisa, juga ada pengaruh dari Wu ZeTian.
Teori lain seputar Kwan Im adalah sebagai berikut
1. Wu ZeTian, kaisar wanita dinasti Zhou/Tang
Wu ZeTian dikenal sebagai pelindung Buddhisme terutama yang berada di daerah utara Tiongkok. Dalam rangka "balas jasa" Wu ZeTian dijadikan sebagai ikon Guan Yin. Wujud Wu ZeTian sebagai Guan Yin juga konon membantu menyelamatkan banyak tempat ibadah Buddhisme ketika pada masa selanjutnya mereka dipersekusi karena dianggap terlalu banyak menimbun harta dan merusak ekonomi negara.
2. Guan Yin sang pemberi anak
Konon jaman dulu pasangan yang tidak punya anak akan minta anak ke Guan Yin (sekarang juga banyak). Nah biasanya patung Guan Yin ditaruh di kamar si wanita yang meminta anak. Budaya jaman itu adalah sesuatu yang melanggar moral dan etika bila kamar seorang wanita ada seorang lelaki yang bukan kerabatnya. Karenanya konon ini salah satu faktor pencetus berubahnya Guan Yin menjadi wanita.
3. Faktor filosofi Buddhisme
Guan Yin sebagai Bodhisatva/makhluk suci tidaklah berjenis kelamin, jadi dia bukan lelaki ataupun wanita, jadi sah-sah aja mau dibuat seperti apa. Bahkan di banyak budaya, Guan Yin diwujudkan menjadi tipe maskulin pembawa senjata yang fungsinya menaklukkan kejahatan (contoh: di Tantrayana Tibet dan Tantrayana Singhon