Mejadi pahlawan itu tidak mesti. Bisa jadi sesudah itu menjadi ‘bedebah’ tergantung pada zaman dan juga tergantung siapa yang bekuasa. Vladimir Ilich Ulyanov Lenin dan Stalin adalah pahlawan Komunis Rusia, tetapi menjadi ‘bedebah’ dan patung perunggunya diludahi, dihujat kemudian dirobohkan pada zaman glashnot dan perestroika.
Awalnya, Saddam Husein adalah pahlawan Irak tetapi pada akhir hidupnya mejadi ‘bedebah’ setelah tentara Amerika Serikat merebut Irak. Patung Saddam Husein mengalami nasib yang sama seperti patung para kamerad Rusia, dirobohkan, serpihan-serpiahannya dibawa pulang tentara Amerika sebagai souvenir (buah tangan). Perbedaan antara Pahlawan dan ‘bedebah’ selisihnya tipis saja. ‘Arek-arek’ Surabaya pada 10 Nopember 1945 adalah pahlawan bagi kita, tetapi mereka adalah ‘bedebah’ bagi Tentara Sekutu. Kyai Tamin, dan Kyai Khuzaimi (putra asli Kelurahan Gentong, dan Tambaan Pasuruan) menurut Bala Tentara Jepang adalah teroris, dan ‘bedebah’ sehingga wajib disiksa dari penjara ke penjara. Dari Lowokwaru Malang hingga Sukamiskin Bandung (Oleh karena Kyai, beliau tidak di casting jadi pahlawan, tetapisyahid).
Daftar pahlawan dan ‘bedebah’ amatlah panjang mulai dari Osama bin Ladin, Abubakar Baasyir, George W Bush, Barack Obama, Sukarno, Suharto, atau barangkali ‘cak Su’ ketua RW saya. Sudah pasti mereka-mereka itu ada yang mem-pahlawan-kan dan ada yang mem- bedebah-kan. Hidup di dunia yang menurut terminologi Al Qur’an adalah main-main, senda-gurau, dan menipu ini percuma jika kita menangis; mengapa pahlawan menjadi bedebah. Baik dan buruk, pahlawan dan ‘bedebah’, jujur dan tidak jujur, tergantug kepada paradigma ideologi agama masing-masing.
Tetapi, apakah pahlawan itu, dan mengapa lembaga, institusi, golongan, komunitas tertentu berebut mendaftarkan anggotanya untuk dijadikan pahlawan?
Awalnya pada tahun 1959 Bung Karno memutuskan memperkuat persatuan dan kesatuan dengan menyusun daftar resmi ‘pahlawan nasional’. Bung Karno memilih tiga nama saja (karena tiga tokoh tersebut baru saja wafat) yaitu; Sastrawan budayawan Abdul Muis, Ki Hajar Dewantara, dan Suryopranoto. Namun daftar itu dengan cepat bertambah memanjang menjadi 33 nama pahlawan yang berhasil dikukuhkan sebelum kudeta G.30.S PKI 1965. Setelah itu badan yang ‘mencetak’ pahlawan berada dalam naungan Departemen Sosial yang menerima rata-rata 600 sampai 700 ‘calon pahlawan’ setiap tahun. Rebutan pahlawan bukan tidak pernah terjadi, karena setiap daerah, golongan, agama amat butuh pahlawan, sedangkan komposisi pahlawan Jawa lebih dominan dibanding dengan daerah lainnya. Kalimantan Selatan hanya terpilih satu pahlawan saja yaitu; Pangeran Antasari yang wafat pada tahun 1862. Nasionalis kita adalah nasionalis picik kata Bung Karno.
Pahlawan tidak dipandang sebagai kebanggaan dan kekaguman yang bersifat nasional, tetapi pahlawan adalah prestise golongan dan daerahnya. Terus terang saja bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia adalah ‘nasionalisme semu’, Bapak saya ikut-ikutan naik truk bersama-sama anak muda lainnya ke Surabaya atas seruan Bung Tomo. Menurut rasan-rasan, kenapa Bung Tomo memerlukan waktu yang lama ditetapkan sebagai Pahlawan. Salah Bung Tomo sendiri, kenapa sewaktu pidato di radio meneriakkan: ‘Allahu Albar, Allahu Akbar!!!’ Mengajak membunuh orang saja pakai pekik Allahu Akbar, kayak ‘teroris’, dan FPI saja. Dalam perang yang hiruk-pikuk itu teman bapak saya terkencing-kencing karena tidak tahu menahu bahwa ke Surabaya itu untuk perang, apa lagi untuk jadi pahlawan. Pokoknya ikut naik truk, dan disangka rekreasi.
Akhir tahun 50-an bapak saya dikunjungi seorang tentara gagah perkasa, pistol di pinggang dengan kendaraan jeep Willys disertai ajudan dan sopirnya. Dengan bertelanjang dada, berkeringat karena baru saja menggergaji kayu (bapak saya tukang kayu), ‘komandan’ itu dirangkulnya. Lama sekali. Ya.. cuma sekali itu. Seperti sepotong puisi Chairil Anwar; Sekali berarti, sesudah itu mati.