Di dalam tenda besar, di luarnya berkibar bendera ‘merah-putih’, satu-persatu saya perhatikan wajah-wajah jenazah. Agak sulit juga karena semua korban kebanyakan dari Turki, Libanon, Mesir, dan lain-lain. Begitu banyaknya korban yang dirawat di ‘rumah sakit mobile’ sementara petugas medis tidak mencukupi, saya bersama dengan jama’ah lain menjadi relawan. Mengangkat jenazah, maupun yang terluka. Sebenarnya saya penakut, tetapi perasaan itu sirna ketika seorang korban terbata-bata mengucapkan dua Kalimat Syahadat, tersenyum memandang saya sambil mengucapkan Alhamdulillah, kemudian rohnya meninggalkan ‘badan-wadagnya- berpindah ke ‘kehidupan lain’ yang lebih abadi. Saya menangis. Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun.
Di dalam tenda maktab 5, saya menceritakan itu semua kepada Bapak dan Ibu saya (Sebetulnya Paman saya, oleh karena tidak punya keturunan, maka sejak bayi saya dipelihara). Saya tertegun, ketika dengan mata menerawang Bapak saya berucap lirih:Ya Allah, kok sanes kulo sing pejah wonten mriki (Ya Allah, kok bukan saya yang mati di sini).
Ada banyak macam kematian, tetapi bagi saya, cuma dua jenis saja. Kematian yang bermakna, dan kematian yang tidak bermakna. Arti kematian yang saya dapat dari tragedy terowongan Mina InsyaAllah adalah kematian yang mempunyai ‘nilai’. Sudah bukan menjadi rahasia bahwa setiap jamaah haji, termasuk saya ada semacam keinginan –andai boleh memilih- mati di tanah suci. Kematian adalah ‘kemestian’ dan kita tidak dapat menghindar, baik itu ‘teroris melayu’, ‘teroris-Amerika’, ‘agen rahasia’ yang mempunyai lisensi menyabut nyawa, maling, orang sengsara, orang kaya, jagoan, semua akan mati. Hanya saja, kematian itu bermakna atau tanpa makna.
Peristiwa heroik pasukan berani mati anak-anak santri dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya melabrak tentara kafir dengan ‘bambu-runcing’ face to face, didasari oleh ‘keyakinan’ Lillahi Ta’ala. Sebaliknya, tentara-tentara Sekutu itu takut mati, kalau mesti mati, untuk apa? Dalam rangka apa?
|
Orang Meninggal |
Dilihat dalam berbagai sudut pandang manapun, kematian ‘serdadu-belanda’ dalam rangka penumpasan sparatis Aceh Cut Nya’ Dien, adalah kematian yang tanpa makna. Kematian adalah wilayah di luar dunia, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘penilaian’ keduniawian sudah terputus dan tidak berlaku. Hakimnya nanti adalah Yang Maha Mengadili. Tergantung si ‘mati’ ; apakah fujur atau taqwa, apakah si ‘mati’ semasa hidup bersikap tasdiq (iman), menerima Al-Qur’an sebagai kebenaran, atau takdhib (kufur), mengingkari kebenaran al Qur’an secara lahir bathin.
Orang di kampung saya, menunaikan ibadah haji adalah kontrak mati, mati dalam arti yang sebenarnya. Sehingga tidak peduli, bid’ah atau bukan. Keluar rumah, sebelum berangkat naik mobil ataupun dokar, persis di pintu berhenti sejenak, salah satu pengantar mengumandangkan adzan, sesudah itu iqomat, layaknya ritual yang sering dilakukan saudara kita ketika mengubur orang mati. Saya, ketika itu sebenarnya adalah mayat yang siap ikhlas menghadapi ‘kematian’. Barangkali kepasrahan totalhidupku matiku hanya karena Allah semata seperti lasykar jihad di zaman Rasulullah,mujahidin Afganistan, Libanon, Irak, Iran, maupun mujahidin kerusuhan Ambon, Poso. Bedanya, dihadapan saya tidak ada musuh fisik, misalnya tentara Amerika, atau James Bond 007 yang mempunyai ‘surat ijin membunuh’. Walaupun demikian ‘inti’-nya baik para jamaah haji maupun Amrozi, Mukhlas, ‘pasukan berani matinya’ Banser Jawa Timur di zaman Gus Dur, maupun regu kamikaze-nya Balatentara Nippon dalam Perang Pasifik adalah bahwa mereka siap menghadapi kematian. Perkara yahanno lillahi ta’alaatau tidak hanya Allah yang mengetahui.
Peristiwa di terowongan Haratul Lisan Mina 2 Juli 1990 adalah tragedi yang paling banyak memakan korban diantara tragedi yang lain di Tanah Suci, baik sebelum maupun sesudahnya. Dalam peristiwa Mina tercatat 1.426 korban, dan jamaah haji Indonesia tercatat kurang lebih 649 orang. Banyak analis yang menyimpulkan bahwa tragedy itu terjadi karena sosialisasi pahala, yang dilakukan oleh lembaga pembimbing haji dalam rangka promosi lembaganya bahwa melontar jumroh aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah yang paling afdhal adalah pada waktu dhuha (tinggi matahari sepenggalah). Sedangkan pada waktu hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) baik nafar awal maupun nafar tsani, waktunya sebelum tergelincir matahari.
Setelah Sholat Maghrib seluruh jama’ah haji meninggalkan Arafah. Jamaah dari kota Pasuruan sebagian sudah berangkat ke Mina untuk mabit, terlebih dahulu mabitsebentar di Muzdalifah untuk mencari kerikil paling sedikit 7 butir. Regu saya baru berangkat ke Mina pada jam 2 malam lewat sedikit. Kira-kira jam 4 pagi tiba di Mina. Melalui musyawarah mufakat (termasuk ustadz Yasin almarhum) diputuskan melontar jumroh pada jam tersebut setelah menaruh barang-barang di tenda maktab 5 yang letaknya persis di pinggir jalan. Maktab jamaah haji Indonesia berjumlah 38 perkemahan muassasah, dan Negara-negara Teluk lokasinya berada di balik bukit. Praktis seluruh jamaah haji Indonesia baik pergi maupun kembali ke kemah selepas lontar jumroh harus melewati terowongan Haratul Lisan.
Di dalam terowongan terdapat dua jalur; satu jalur dipakai untuk berangkat ke tempat jumroh dan jalur yang lain dipakai bagi jamaah yang kembali dari lontarjumroh. Di dalam terowongan terpasang blower yang cukup untuk memasukkan oksigen dari luar terowongan. Nah, pada hari afdhal di pagi tanggal 2 Juli 1990 tersebut jumlah oksigen tidak mencukupi untuk dihisap oleh sekian ratus ribu manusia. Akibatnya, seluruh manusia yang ada di dalam terowongan berjatuhan, diinjak, oleh ribuan lagi yang masuk dalam terowongan yang juga jatuh satu persatu kekurangan oksigen. Memang bukan takdir saya untuk menjadi syahid. Sesuai dengan hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah bahwa ibadah haji adalah jihad tanpa peperangan. Setelah melontar jumroh Aqobah, kemudian tahallul (mencukur rambut), sholat Subuh di jalan layang King Fahd Road. Tiba di perkemahan masih pagi sekali. Aneh, jamaah kota Pasuruan yang berangkat selepas Sholat Maghrib dari Arofah, belum juga tampak diperkemahan. Belakangan diperoleh keterangan bahwa semalaman bus yang ditumpangi cuma berputar-putar, dan sampai di Mina jam 9 pagi.
Pengalaman perjalanan haji adalah syurga bagi ahli semiotika karena penuh dengan ‘tanda-tanda’ yang bukan main banyaknya, dan tentu saja tidak akan berarti apa-apa bagi orang yang tidak mau memperhatikan. Haramain, padang Arofah, Muzdalifah, tempat lempar jumroh, dan lain-lain adalah pengembaraan ritual pribadi, relasi pribadi dengan Tuhannya. Perilaku hidup saya sejak kanak-kanan diputar kembali di tanah suci, kejahatan saya, keculasan saya, kemalasan saya beribadah, ketidak ikhlasan saya, rasa jagoan saya, ke-yahanno-an saya, kesukaan jidal saya berulang kembali di depan mata saya. Beruntung saya dapat kesempatan merevisi kembali kehidupan saya. Pada hakekatnya, haji mabrur itu adalah perbaikan yang tidak pernah henti perilaku ikhlas dalam beribadah kepada Allah setelah kepulangannya dari Tanah Suci.
Ritual perjalanan haji adalah kepasrahan total, keikhlasan, dan hanya mengharap ridho Allah SWT. Puisi seorang sufi Abu Nuwas (Abu Nawas), sering saya dendangkan di masa kanak-kanak saya selepas Adzan Maghrib, yang belakangan populer di kalangan orang islam-anyaran lewat senandung MH.Ainunajib, berikut terjemahannya: Ya Allah, andai aku menyembahMU karena takut akan nerakaMU, maka benamkanlah diriku di dalamnya. Ya Allah, andai aku menyembahMU lantaran menginginkan syurgaMU, maka jauhkanlah aku darinya. Sebab aku memujaMU demi mengharap ridhoMU semata.
Allah menentukan segala sesuatu, termasuk tempat dan cara kematian seseorang. Apakah mati di Tanah Suci, ketika sedang sholat, ketika dipeluk pelacur atau ditembak Densus 88. Sore hari besoknya bu Emma tiba di perkemahan dengan diantar oleh petugas Koordinator Tim Kesehatan Haji Indonesia. Ketika tubuhnya limbung, kemudian ambruk, tiba-tiba diangkat oleh seseorang tinggi besar, cerita beliau kepada saya. Bu Emma Yakin bahwa orang itu adalah Malaikat.