Sastra Indonesia mengoleksi beberapa kisah tragis para nyai, atau gundik. Yang terkenal, dan dianggap sebagai novel sejarah, adalah Njai Desima. Lainnya; Njai Isah dan Njai Rossina.
Pramoedya Ananta Toer, dalam Tetralogi Pulau Buru, menampilkan Njai Ontosoroh sebagai sosok gundik yang lain; tidak sekadar menjadi pemuas nafsu, tapi mampu mengambil alih bisnis suami Belanda-nya.
Semua kisah para nyai berlatar situasi awal abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hampir tidak ada novel baru tentang nyai setelah Perang Dunia I, karena pada saat itu pemerintah Belanda mulai sibuk menjalankan kebijakan barunya; standardisasi pemerintahan untuk memperkokoh superioritas kulit putih (totok) atas penduduk asli di tanah jajahan.
Awal dan Akhir Pergundikan
VOC bangkrut 1799 akibat korupsi, dan penjajahan Belanda atas Nusantara dimulai. Anne McClintock dalam Dangerous Liaisons, menulis regulasi gender kali pertama muncul di Hindia-Belanda awal abad ke-18. Regulasi diluncurkan untuk mencegah arus migrasi perempuan kulit putih dan melarang pria menikah – apalagi yang telah memiliki anak – ke Batavia dan kota-kota lainnya di Jawa.
Alasan pemerintah Belanda adalah perempuan Belanda yang datang ke Batavia sebelumnya berasal dari lapisan rendah dalam masyarakat, dan banyak terlibat skandal dengan pribumi. Para perempuan itu, demikian McClintock, adalah gambaran yang salah tentang masyarakat Eropa.
Jika ada wanita yang boleh melakukan perjalanan ke Batavia mungkin hanya istri para petinggi, atau para lelaki menikah yang terlanjur telah bekerja di perusahaan-perusahaan dagang di negeri jajahan. Jumlah mereka relatif sedikit.
Regulasi berikutnya, dengan tujuan menegaskan superioritas, melarang pria Belanda yang telah bekerja di tanah jajahan kembali ke Eropa jika tidak memiliki kemampuan finansial untuk menikah dengan perempuan sebangsa. Akibatnya, hanya mereka yang sukses sebagai pengusaha dan pekerja professional yang pulang ke Eropa dan kembali dengan istri Belandanya.
Tamara Loos, dalam Colonial Modernity in Netherlands East Indies, menulis sebagian besar lelaki Belanda di Batavia – yang kebanyakan pekerja miskin dan serdadu – melihat kebijakan ini sebagai insentif untuk menikahi wanita pribumi. Sedangkan perempuan Belanda tidak betah menghadapi peraturan yang ketat.
Iklim Batavia yang panas, dan lingkungan yang sempit karena dikepung pribumi, juga membuat istri-istri pejabat Belanda merasa tak mungkin berlama-lama di tanah jajahan. Banyak dari mereka nekad kembali ke Belanda bersama anak-anaknya, meninggalkan suami mereka sendirian.
Jawaban atas situasi ini adalah ‘pergundikan’. Ann L Stoner, dalam Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th-Century Colonial Cultures, mendefinsikan pergundikan sebagai kohabitasi lelaki Eropa terhadap wanita pribumi untuk urusan domestik dan seks.
Pemerintah dan perusahaan-perusahaan Belanda mengadopsi kebijakan ‘pergundikan’ untuk mengakomodasi gaya hidup pejabat dan karyawannya dan sebagai kompensasi atas rendahnya wanita Eropa di negeri jajahan.
Secara ekonomi, pergundikan lebih murah. Pria Belanda tidak harus menghabiskan uangnya untuk melakukan perjalanan ke Eropa, menikahi wanita kulit putih hanya untuk memenuhi kebutuhan seks. Pergundikan membuat lelaki Belanda kian betah berada di tanah jajahan, dan baru kembali ke negeri asalnya saat pensiun tiba.
Setelah 1870, akibat pembukaan Terusan Suez dan teknologi kapal uap, situasi berubah. Pemerintah Belanda sulit mencegah terjadinya migrasi besar-besaran perempuan kulit putih ke tanah jajahan. Di sisi lain, stabilitas ekonomi di Hindia-Belanda membuat keluarga-keluarga Eropa berbondong-bondong mencari peruntungan di Batavia dan kota-kota lainnya di Jawa dan Sumatera.
Greg Bankoff, dalam Europe’s expanding Resources Frontier: Colonialism and Environment in Southeast Asia, mengatakan situasi ini menuntut terjadinya perubahan politik dan regulasi gender. Pemerintah Belanda, menurut McClintock, mulai melihat bahaya masa depan sistem pergundikan.
Pergundikan melahirkan anak-anak campuran (indos), yang populasinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika tidak dihentikan, populasi indos akan melebihi penduduk kulit putih, alias Belanda totok.
Pergundikan melahirkan masalah degenerasi, yang didefinisikan melalui tindakan elitis dan rasis. Anak-anak indos digambarkan sebagai produk korupsi moral, dan dianggap sebagai unlike one’s race.
Pendukung gagasan ini mendorong pemerintah untuk melawan degenerasi dengan meningkatkan populasi Eropa di tanah jajahan, dan secara esensisal menggunakan wanita kulit putih hanya untuk aktivitas reproduksi.
Hanya dengan cara ini, kulit putih bisa melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas ekonomi; produksi dan perdagangan barang dan jasa. Secara politik, peningkatan keluarga kulit putih akan menjamin kelanjutan otoritarianisme dan imperialisme.
Disponsori keluarga-keluarga pekebun Eropa di Sumatera, pemerintah kolonial mengimplementasikan regulasi gender yang baru. Yaitu dengan melindungi perempuan-perempuan Eropa dari penduduk pribumi. Sebelum Perang Dunia I, pemerintah secara tegas menghentikan kebebasan lelaki Belanda bergundik, seraya terus mendatangkan wanita-wanita kulit putih dari Belanda.
Stoler mengatakan kebijakan ini harus ditaati semua penduduk kulit putih, dan pendatang baru. Pemerintah Belanda menuntut tanggung jawab semua warga kulit putih akan pentingnya klarifikasi garis etnis. Akibat dari kebijakan ini sangat serius, masyarakat indo – anak-anak yang lahir dari rahim para gundik – menjadi terasing di tengah masyarakat kulit putih.
Indo-Dutch
Jika pada tahun 1860 hanya ada 1.000 wanita Eropa di Hindia Belanda, dengan jumlah laki-laki kulit putih mencapai 22 ribu, sebelum memasuki abad ke-20 jumlah lelaki dan perempuan kulit putih relative seimbang. Pergundikan lenyap, tapi meninggalkan jejak yang sulit dihapus, yaitu Indo-Dutch.
Kebijakan superioritas ras harus menghadapi kenyataan banyaknya Indo-Ducth yang lahir dari sistem pergundikan. Di satu sisi, Belanda ingin mengeluarkan mereka dari legal class Eropa. Di sisi lain, kaum totok membutuhkan mereka sebagai pengaman di tengah kepungan pribumi.
Sensus tahun 1930 memperlihatkan terdapat 240.162 ribu warga yang masuk kelas hukum Eropa. Dari jumlah itu, 208.269 – atau 86,7 persen adalah warga negara Belanda. Namun hanya 25,8 persen warga Belanda yang asli Belanda, lainnya adalah Indo-Dutch yang terpaksa dimasukan ke dalam kelas sosial Belanda.
Jika dibanding seluruh penduduk Hindia-Belanda saat iu – yang mencapai 60.727.233 jiwa – penduduk kulit putih asli Belanda dan penduduk Eropa lainnya hanya 0,4 persen. Mereka memang superior, tapi hidup dalam ketakutan konstan di tengah kepungan pribumi.
Rincinya, sensus tahun 1930 menunjukan Hindia-Belanda adalah rumah bagi 59.138.067 penduduk asli (87 persen), 1.233.214 Tionghoa (2 persen), 240.417 Belanda, Eropa, dan Indo-Dutch (0.4), dan 115.535 (0,2 persen) penduduk asing lainnya.
Tidak seluruh Indo-Ducht bisa diterima masyarakat kulit putih. Hanya mereka yang lahir dari pernikahan resmi, dengan upacara di gereja dan tercatat di pengadilan, yang memperoleh pengakuan. Mereka yang lahir dari rahim gundik pemuas nafsu, atau tidak menikah resmi, ditolak.
Roger Wiseman, dalam Asimilasi Out, menulis antara 1881 sampai 1940 anak-anak Indo mencapai 210 ribu. Sebanyak 45 ribu diidentifikasi sebagai Indo-Eropa, lainnya Indo-Dutch. Dari seluruh Indo-Dutch, sebanyak 48 ribu lahir dari pergundikan tapi mendapat status Eropa untuk menggelembungkan populasi tuan penjajah.
Tingginya pertumbuhan anak-anak Indo – Eropa atau Belanda – adalah akibat pengenalan civil code1848, yang membolehkan perkawinan beda agama. Peraturan ini menjamin seorang wanita pribumi bebas mempertahankan agamanya selama berumah-tangga dengan pria Belanda.
Ketika terjadi perceraian, atau pria Belanda memutuskan kembali ke Eropa atau menikah lagi dengan wanita kulit putih, wanita pribumi keluar rumah membawa anak-anak mereka. Pemerintah Belanda menggambarkan fenomena ini dengan sebutan; Indo yang menghilang ke dalam kampung.
Pada akhirnya, regulasi gender dan kebijakan superioritas kulit putih tidak benar-benar melahirkan masyarakat kulit putih Belanda yang mapan di kota-kota di Jawa dan Sumatera. Populasi terbesar masyarakat Belanda di Indonesia, sampai sebelum kemerdekaan, tetap saja mereka yang lahir dari rahim pribumi.