John Obert Voll dalam bukunya Islam Continuty and Change in the Modern World (1982) menandai perjalanan perpolitikan Muslim di seluruh wilayah negeri Muslim dengan membagi tiga fase evolusi politik. Fase pertama, Islam diakui sebagai bagian dari nasionalisme dalam rangka merebut kemerdekaan. Fase kedua, setelah kemerdekaan diraih, Islam dikeluarkan dari ‘korpus’ nasionalisme, dan fase ketiga, perubahan - perubahan format social, perubahan tingkat pendidikan, kaum Muslimin mulai mempertanyakan posisinya di dalam Negara.
Di hampir setiap negeri muslim (Malise Ruthven, 1982), orang-orang nasionalis dari jenis ini atau jenis lainnya akan memegang kekuasaan setelah kemerdekaan. Contoh-contoh seperti Urabi Pasha, Mustafa Kamil, Sa’ad Zaghloul, Gamal Abd al-Nasser di Mesir, Ahmad Beb Bella di Aljazair, Sekou Toure di Guinea, dan Soekarno di Indonesia. Khusus mengenahi Soekarno, teridentifikasi dengan jelas melalui tulisannya di halaman 289 dalam buku ‘Dibawah Bendera Revolusi’ Soekarno menulis: “Saya menganjurkan jangan sampai Marhaen nanti menjadi ‘pengupas nangka’ yang hanya mendapat bagian getahnya saja” Selanjutnya beliau mengatakan, “Marhaen harus menjaga yang di dalam Indonesia merdeka itu Marhaenlah yang menggenggam politicke macht, menggenggam kekuasaan pemerintahan”.
Ketika Negara tidak berhasil mencapai konsensus mengenahi tujuan nasional, pada saat yang bersamaan reproduksi nilai (generasi Muslim terdidik) semakin meningkat, dan kosensus ‘kesadaran palsu’ semakin transparan maka kaum muslimin yang tasdiq mulai mempertanyakan posisinya di dalam struktur Negara. Saat ini evolusi politik muslim berada pada fase ketiga. Pemeluk Islam saat ini bukan lagi termasuk dalam kategori ‘manusia bodoh’, ‘kampungan’. ‘kudisan’, ‘jumud’ seperti pada saat-saat awal Orde Baru.
Namun demikian, tampaknya ada batu sandungan yang dihadapi umat Islam dalam evolusi politik fase ke-tiga ini yaitu, polarisasi keislaman dan kebangsaan dihembuskan secara gencar, sehingga amat menyudutkan keberadaan umat Islam di dalam Negara. Resistensi terhadap Islam dan umat Islam secara terus menerus dilancarkan; mulai dari ‘penghapusan anak kalimat’ pada sidang PPKI 1945, ‘Pernyataan 21 Desember ABRI’ selepas ‘ditumpasnya’ G.30.S.PKI tahun 1966, yang ditanda tangani Presidium Kabinet Ampera Jendral TNI Suharto, yang menolak rehabilitasi Partai Masyumi, yang ‘ironis’-nya ABRI dan orang-orang Masyumi saling bahu membahu ketika menumpas PKI (‘Alam Fikiran dan Djedjak perjuangan Prawoto Mangkusasmito, 1972); pengukuhan 1 Suro tahun Be 1904 (16 Februari 1977) sebagai tahun baru ‘kejawen’ (JMW Bakker S.J., Agama Asli Indonesia, 1981), Undang-Undang Perkawinan menurut hukum ‘kepercayaan’ pada tahun 1974; Tap MPR II dalam ketetapan IV memasukkan ‘Kepercayaan’ sebagai alternative terhadap agama.
Resistensi terus berlanjut dengan usaha penolakan RUUPA (Rencana Undang-Undang Peradilan Agama) yang ditentang oleh F-PDI, Romo Franz Magnis Suseno S.J. (Kompas, 16 Juni 1989), S.Widjojo (Majalah Hidup no.7, tahun 1989); dan yang masih hangat bentuk-bentuk resistensi, ostrakisme (penyingkaran social yang mengucilkan) terhadap Islam adalah ‘pemerintah’ menyodorkan RUU Kesetaraan Gender. Disamping itu banyak variant-variant resisten yang bermunculan di Republik Indonesia ini. Demo ‘banci’, demo ‘Dayak’, dengan alasan Islam ‘garis-keras’, FPI, Wahabiisme, dan lain sebagainya sebagai dalih ‘anti kekerasan’ yang kesemuanya itu –menurut terminology masyarakat Pasuruan- cuma sekedar yahanno (pura-pura, hipokrit, artificial, ‘abang-abang lambe’), sementara ‘kekerasan’ demi ‘kekerasan’ yang dilakukan preman, polisi, tentara, supporter sepak bola, kekerasan antar kampong, mereka ‘adem ayem’ saja. Semuanya itu makin memperjelas bahwa yang menjadi target sebenarnya adalah menyingkirkan Islam dari bumi Indonesia.