Aksara piktograf dan ideografis berkembang
menjadi aksara alfabetis, sederhana dan dapat dipelajari secara cepat dan
mudah.yang -waktu itu- digunakan untuk menulis bahasa-bahasa latin. Perkembangan
terpenting dalam evolusi manusia adalah lahirnya kebudayaan dan peradaban sebab
kedua aktivitas tersebutlah yang mengantarkan manusia untuk menguasai,
memanfaatkan, mencintai alam, dan juga menghancurkannya. Aktivitas manusia
tersebut diinformasikan melalui bahasa, khususnya bahasa tulisan.
Apa itu
tulisan? Mengapa kita menulis? Untuk siapa? Untuk menghasilkan sebuah tulisan
sastra, mau tidak mau harus menggunakan bahasa dan gaya. Bahasa adalah dimensi
horizontal dan gaya adalah dimensi vertikal. Sebagai lingkungan keniscayaan,
bahasa dan gaya menghasilkan nature atau kodrat bagi seorang
penulis. Jadi bahasa dan gaya merupakan suatu obyek, sedangkan tulisan
merupakan suara pribadi seorang penulis yang sifatnya subyektif, dan juga unik. Tulisan
adalah ruang dimana penulis secara jelas menunjukkan diri sebagai individu
karena di sinilah dia peduli dengan dirinya sendiri (Roland Barthes, Writing
Degree Zero) atau seperti yang ditafsirkan Sontag, meliputi
keseluruhan sifat-sifat karya sastra yang meliputi nada , etos, ritme
penyampaian, bentuk ungkapan yang tidak dibuat-buat, suasana bahagia dan
kecewa. Kegiatan menulis terbagi menjadi dua macam yaitu; tulisan sebagaijouissance dengan
tulisan sebagai babil.
Pembagian
ini muncul karena tuntutan, setiap tuntutan bersifat frigit, teks
yang dihasilkan pun sebuah ‘frigit teks’ dengan ciri-ciri imperative,
automatic, unaffectionate, a minor disasstrer of static. Tulisan
sebagai babil karena tulisan ini ibarat ocehan seseorang
yang belum terpenuhi kebutuhan ‘fase oral’-nya. Orang menulis supaya dibaca
orang lain, akan tetapi orang lain tidak berarti apa-apa kecuali hanya sebagai
sasaran belaka. Dalam jouissance sebaliknya, orang menulis
tidak membutuhkan pembaca. Menulis berarti mengolah desire dengan desire, artinya
penulis sudah mengantisipasi kematiannya –entah disadari atau tidak- penulis
tidak bisa menghadirkan dirinya sebagai author kecuali
kenikmatan bagi dirinya sendiri, dan tanpa disadari juga menghadirkan sebuah
ruang kosong untuk dinikmati oleh pembaca.
Dimana Letak Kenikmatan Menulis?
Begitu selesai menulis,
seorang kehilangan authorsip dan authority-nya,
di manakah letak kenikmatan seorang pengarang? Hubungan macam apa yang ia
nikmati dengan teks yang dihasilkannya? Jawabannya sendiri, salah satunya aforisme biografis
Roland B. : I delight continuously, endlessly, in writing as in a
perpetual production, in an unconditional dispersion, in an energy of seduction
wich no legal defense of the subyect I fling upon the page can any longer. Kenikmatan
dicapai saat kita mengalami kegiatan menulis sebagai perpetual production (bukan konsumsi), unconditional dispersion (bukan fiksasisasi), danseduction (bukan kesetiaan resmi). Tulisan dibagi menjadi dua bagian; jouissance dantulisan babil.
Tulisan babil ini
muncul karena tuntutan (wartawan, tulisan jaksa penuntut, redaksional BAP
penyidik polisi, kepala dinas, walikota, ‘lurah’, tulisan orang yang terbiasa
berfikir dengan otak ‘terbelah’, tulisan ilmiah, tulisan ahli astronomi, kimia,
fisika, dokter, surat dan laporan saya ketika jadi ‘lurah’, dan tulisan
‘laporan satpam’. Karena setiap tuntutan bersifat frigit, teks yang
dihasilkan pun sebuah frigit textdengan cirri-ciri seperti imperative,
automatic, unaffectionate, a minor disastrer of static. Disebut babil karena
tulisan ini ibarat ocehan seseorang yang belum terpenuhi kebutuhan fase
oralnya. Dalam babil, orang menulis supaya dibaca orang
lain, akan tetapi orang lain tidak berarti apa-apa kecuali sebagai sasaran
belaka.
Dalam jouissance sebaliknya,
orang tidak ‘membutuhkan’ pembaca. Menulis berarti mengolah desire dengan desire, jadi to
desire desire. Penulis sudah mengantisipasi kematiannya –entah
disadari atau tidak- jadi tidak bisa menghadirkan dirinya sebagaiauthor melainkan
sebuah bidang untuk lahirnya kenikmatan. Terlepas apakah orang memahami atau
tidak, bagi penulis jouissance tidak menjadi persoalan
benar. Setelah karya selesai, kemudian hadiah ‘kenikmatan’ diberikan, maka
seorang penulisjouissance tertidur pulas.