Mona Lisa, atau orang Perancis menyebutnya La Joconde, sudah dua kali pernah
dicuri dari Museum Louvre, yang terakhir dicuri pada tahun 1911 dari
ruang “Salle impene impenetrable Louvre
– Le Salon Carre. Misteri ‘senyum Mona
Lisa’ adalah tanda (sign) yang terdiri dari signifier –lukisan itu sendiri-
dan signified –tempat, obyek nyata kita dalam mengapresiasi lukisan.
Kesatuan kata dan
kenyataan itulah yang membuatMona
Lisa karya Da Vinci menjadi tanda (sign).
Untuk orang yang miskin apresiasi, yang belum mengenal sama sekali ‘lukisan’
maka, Da Vinci, Mona Lisa, bukanlah ‘tanda’. Justru karena tanda maka ia akan
siap dihubungkan dengan tanda-tanda lain dan, dengan demikian mempunyai
hubungan eksternal.
Hubungan
antara signifier dan signifield disebut hubungan simbolik dalam arti bahwa signifier menyimbolkan signified. Jadi tanda yang
dipelajari bukan hanya tanda-tanda linguistic seperti ‘kata’ namun bidang
garapannya meliputi ‘obyek’.
Pada tahun
1721, komplotan yang dipimpin seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveldterbongkar. Yang
menjadi pertanyaan mengapa Piter E. ditangkap, dan dalam ‘komplotan’ apa sampai
sekarang belum jelas (Baca: Denys Lombard: Nusa Jawa Silang Budaya, 2005). Tubuh Erberveld ditarik empat ekor kuda dari empat penjuru hingga
organ-organnya terlepas, rumahnya dibumi hanguskan, dan di tempat itu didirikan
sebuah tugu peringatan di dekat (Jakatraweg) berisi larangan dalam bahasa
Belanda dan Jawa. Pada zaman Jepang tugu peringatan itu dipindah, tetapi
setelah pendudukan dikembalikan ke tempat semula pada tahun 1970. Sampai kini
dapat dilihat tidak jauh dari Gereja Sion. Mendengar kata Sion, mau tidak mau
saya mesti menghubungkan Leonardo Da Vinci, Mona Lisa, mengapa Da Vinci ‘hilir
mudik’ membawa lukisan Mona Lisa-nya, mengapa wajah Mona Lisa terdiri dari
paruh perempuan dan paruh laki-laki? Karena Da Vinci masih terhitung keturunan
Maria Magdalena. Dan masih banyak lagi hubungan-hubungannya yang mesti
dirangkai menjadi satu cerita yang utuh.
Biarawan Sion’
adalah sebuah kelompok persaudaraan rahasia yang nyata, yang beranggotakan
antara lain Sir Isaac Newton, Batticelli, Victor Hugo, dan DaVinci. Suatu ordo
yang meyakini bahwa Yesus punya ‘istri’, dan dalam kaitan ini terdapat
pada buku “The Templar Revelation; Scret
Guardian of the True Identity of Crist”; “The Women With The Alabster Jar: Maria Magdalena and the Holy Grail”, The Goddess in the Gospels: Reclaiming the Sacred Feminine”, dan buku yang sangat menggoncangkan “Holy Blood, Holy Grail: The Acclaimed Interbational Bestseller” bahwa Da Vinci keturunan Yesus dari perempuan yang bernama Maria
Magdalena. Reaksi gereja mudah ditebak. Marah. Vatikan mencoba menyembunyikan
pada abad ke-4 M, mengumpulkan informasi kemudian memusnahkannya. Gereja, untuk
mengaburkan ini, Maria Magdalena diposisikan sebagai pelacur, anak keturuannya
‘diburu’ sepanjang masa. Tanda yang terdiri dari signifier dan signified pada karya Davinci,
terutama Monalisa dapat dihubungkan denga tanda lain yaitu, ‘Pieter Eberveld’
yang tubuhnya ditarik oleh empat ekor kuda di Batavia tahun 1721, dan tugu
peringatannya terletak di dekat ‘Gereja Sion’.
Lukisan
Mona Lisa.
Keselamatan
jiwanya-lah yang menjadi prioritas. Untuk melawan ketidak benaran, seorang
‘seniman’ tidak akan menggunakan dengan cara kasar dan brutal, katakan yang benar walaupun pahit, tetapi Davinci melawan sekaligus ‘berhotbah’ lewat ‘sindiran’ karya
lukis. Bahwa, perempuan dan laki-laki itu setara dalam perspektif kemanusiaan
yang dipresentasikan melalui Mona Lisa. Lukisan “Perjamuan Terakhir” lukisan
dinding yang menggambarkan peristiwa konsekrasi, dan Maria Magdalena duduk di
sebelah Yesus. Namun Steven Kellemeier dalam bukunya “Fact and Fiction in The
Da Vinci Code” membantahnya bahwa yang duduk di sebelah Yesus bukan Maria
Magdalena, tetapi St.Yohanes. Saya tak hendak terlibat dalam polemic teologis,
tetapi dalam lukisan “Perjamuan Terakhir” adalah sebuah ‘tanda’ (sign), karena
‘visual’ itu dapat dihubungkan dengan tanda-tanda yang lain, dan memungkinkan
untuk dihubungkan dengan ‘tanda’ di luar dirinya. Katakanlah bahwa, Da Vinci
hendak memberi tahu khalayak lewat karyanya bahwa Yesus mempunyai ‘kekasih’,
dan dia, Da Vinci adalah anak Yesus.
Arkeologi dan geneologi makna yang dikembangkan Foucault dapat dipakai
untuk mengungkap makna lukisan sehingga lukisan itu tampak lebih berarti yang
tidak hanya sekedar ‘dilewati’ begitu saja. Juga tidak kalah pentingnya,
pengetahuan sejarah, latar belakang, obsesi, mimpi sang ‘perupa’ sedikit banyak
harus dimiliki para ‘kritikus seni’ (Kurator?). Sehingga pekerjaan
meng-kuratot-i sebuah karya ‘perupa’ akan lebih berbobot dalam segi
‘makna’. Ke-‘bagus’-an, keindahan karya lukis dari sudut pandang ‘profan’
teramat subyektif, artinya masing-masing orang berbeda dalam menilainya. Tanpa
didukung oleh pemahaman kesejarahan, latar belakang, pengetahuan, pendidikan,
lingkungan, social politik para perupa, seorang curatoris (pengikut curator
Indonesia) sebenarnya bersiap-siap mereduksi sebuah karya ke tingkat ‘laku
dijual apa tidak’