Seseorang yang dipersepsi sebagai budayawan pastilah menguasai seluk beluk dunia supranatural. Hampir setiap orang yang saya temuai pada bulan Juni 2003 dalam seminar budaya di Hotel Utami Surabaya menanyakan kepada saya berapa keris yang saya punyai, koleksi tombak saya, dan berapa ‘kol-buntek’ yang saya koleksi. Entah mengapa seminar tahun 2003 itu berbeda dengan “Temu Budayawan Seluruh Jawa Timur” tahun 2002, pada seminar tahun 2003 banyak makalah didominasi oleh ‘budayawan’ dari ‘Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ (HPK) dari berbagai aliran.
Mengapa ‘aliran kepercayaan’? Karena telah disepakati bersama bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru, maka ‘aliran kepercayaan’ ini dimasukkan ke dalam kategori budaya, dan penghayatnya (penganutnya) disebut ‘budayawan’.
Urusannya semakin rumit ketika kebudayaan itu dirumuskan dalam kesatuan definisi, dan itu (1970) sebanyak 179 buah definisi. Salah satu dari definisi kebudayaan –versinya- Koentjaraningrat; keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Sedangkan menurut beberapa tokoh, kebudayaan itu kebiasaan hidup kelompok, etnis maupun bangsa. Kebiasaan orang Arab berbeda dengan kebiasaan orang Cina, orang Asia, Eropa, dan lain sebagainya. Jika masing-masing perbedaan budaya ini tidak dikenali, maka benturan budaya akan selalu terjadi dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Mungkin kita tidak menyangka sedikitpun bahwa ternyata golongan pemuda di tahun 1930-an pernah bersilat lidah di koran Pujangga Baru dan Suara Umum antara bulan Agustus – September 1935.
Artikel ‘perselisihan’ budaya yang dimuat Koran itu dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja pada tahun 1948 dan dijadikan buku berjudul ‘Polemik Kebudayaan’ Polemik ini melibatkan beberapa budayawan Indonesia yakni Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane, Dr.Poerbotjaroko, Dr.Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr.Amir, Ki Hajar Dewantara di pihak lain. Benturan budaya ‘modern’ yang diwakili oleh Sutan Takdir dengan budaya‘feodal’ yang dipertahankan oleh ‘lawan-lawannya’.
Sungguh, buah pikiran tokoh-tokoh dimaksud yang berselisih meskipun di antara mereka sebenarnya mempunyai kata sepakat bahwa kebudayaan harus dicairkan, menurut kacamata zaman sekarang sangat sulit dicarikan padanannya. Siapa yang menyangka bahwa buah dari polemic itu misalnya, telah membuka mata hati para tokoh bangsa ketika pada awal-awal sidang BPUPKI bahwa Indonesia di masa depan ditegakkan menurut konsep Barat-modern.
Artikel yang ditulis Dr.Amir: ….”saya pujikan, supaya pujangga-pujangga kita jangan mengabaikan klasiken kita yang pertama, yaitu peradaban India” (‘Polemik Kebudayaan’, hal 132).
Dr.Soetomo: “Kalau STA (Sutan Takdir Alisyahbana) suka membaca brochure saya, maka menangkap pidato saya, yang dimulai , mengambil pepatah sabda Swami Vivekanande, tentu STA akan insyaf akan cita-cita dan kemauan saya….” (ibid, hal.72).
Sejarah telah mencatat bahwa ternyata Sutan Takdir Alisyahbana telah memenangkan perdebatan yang sangat luar biasa itu. Artinya, ternyata dikemudian hari kebudayaan Timur India (Hindu, Budha) tidak digunakan sebagai landasan budaya Indonesia Baru, walaupun diupayakan dalam perdebatan pada Sidang-Sidang BPUPKI, budaya India tidak mendapat persetujuan dari para anggota sidang. Bagitu juga usaha Ki Bagoes Hadi Koesoemo untuk memasukkan Islam sebagai ‘dasar’ Negara Indonesia yang akan dibentuk.