Begitu selesai menulis, seseorang kehilangan authorsip dan authority-nya, di manakah letak kenikmatan seorang pengarang? Hubungan macam apa yang ia nikmati dengan teks yang dihasilkannya? Jawabannya sendiri, salah satunya aforisme biografis Roland B. : I delight continuously, endlessly, in writing as in a perpetual production, in an unconditional dispersion, in an energy of seduction wich no legal defense of the subyect I fling upon the page can any longer.
Kenikmatan dicapai saat kita mengalami kegiatan menulis sebagai perpetual production (bukan konsumsi), unconditional dispersion (bukan fiksasisasi), danseduction (bukan kesetiaan resmi). Tulisan dibagi menjadi dua bagian; jouissance dantulisan babil.
Tulisan babil ini muncul karena tuntutan (wartawan, tulisan jaksa penuntut, redaksional BAP penyidik polisi, kepala dinas, walikota, ‘lurah’, tulisan orang yang terbiasa berfikir dengan otak ‘terbelah’, tulisan ilmiah, tulisan ahli astronomi, kimia, fisika, dokter, surat dan laporan saya ketika jadi ‘lurah’, dan tulisan ‘laporan satpam’. Karena setiap tuntutan bersifat frigit, teks yang dihasilkan pun sebuah frigit textdengan cirri-ciri seperti imperative, automatic, unaffectionate, a minor disastrer of static. Disebut babil karena tulisan ini ibarat ocehan seseorang yang belum terpenuhi kebutuhan fase oralnya. Dalam babil, orang menulis supaya dibaca orang lain, akan tetapi orang lain tidak berarti apa-apa kecuali sebagai sasaran belaka.
Dalam jouissance sebaliknya, orang tidak ‘membutuhkan’ pembaca. Menulis berarti mengolah desire dengan desire, jadi to desire desire. Penulis sudah mengantisipasi kematiannya –entah disadari atau tidak- jadi tidak bisa menghadirkan dirinya sebagaiauthor melainkan sebuah bidang untuk lahirnya kenikmatan. Terlepas apakah orang memahami atau tidak, bagi penulis jouissance tidak menjadi persoalan benar. Setelah karya selesai, kemudian hadiah ‘kenikmatan’ diberikan, maka seorang penulis jouissance tertidur pulas.
Agar manusia itu menjadi manusia, berfikir, berakal, maka Allah menyiapkan perangkatnya. Tsumma sawwahu wanakha fiihi min ruuhihii waja’ala lakumu –ssam’a wal abshara wal af –idata qaliilan-mma tasykuruuna. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) ruh (ciptaan)Nya, dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit bersyukur (Q:32:9). Sehingga dengan demikian menjadi jelas bahwa hidung, mata, telinga, mulut bukan hanya sekedar ‘asesoris’.
Nah, orang berfikir itu atau tepatnya menarik kesimpulan tergantung kepada seberapa banyak orang itu ‘membaca’. Indra manusia adalah alat untuk menangkap tanda-tanda. Oleh karena itu, dalam kaitan ini –dalam Islam- membaca adalah wajib hukumnya. Baik membaca dengan mata, membaca dengan kuping, maupun membaca dengan hati.