Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengatakan sebanyak 124 kota dan kabupaten di Indonesia terancam bangkrut, akibat penggunaan anggaran belanja untuk menggaji pegawai yang mencapai 50 persen. Sebanyak 16 kota dan kabupaten, lihat daftar di bawah, berada dalam kondisi sekarat finansial karena penggunaan anggaran belanja untuk menggaji pegawai yang mencapai di atas 70 persen.
Bagaimana dengan Jakarta?
Seorang kawan saya di Paguyuban Keindonesiaan mengatakan Jakarta telah lebih dulu 'bangkrut'. "Yang sekarang Jakarta itu bukan Pemda DKI, tapi IMF, Bank Dunia, ADB, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, AS, Inggris bersama mitra pertikelirnya; Hyundai, LG, Sumitomo, British Petroleum, dan masih banyak lagi," tulis kawan saya. "Gubernur DKI hanya bertindak sebagai 'calo' bagi investor."
Nggak keliru juga sih. Investor yang masuk ke Jakarta akan selalu dibebani biaya sosial yang tinggi, yang disebut fasos/fasum. Pembangunan jalan tol dalam kota menggunakan pinjaman dari Jepang.
Tidak seluruh investor menyerahkan fasos/fasumnya karena berbagai alasan. Pemprov DKI Jakarta juga tidak berupaya mengambilnya, juga karena berbagai alasan. Jika seluruh fasos/fasum diserahkan ke investor, Pemprov DKI Jakarta pasti kelabakan menganggarkan biaya pemeliharaan, dan tekanan terhadap APBD akan semakin hebat.
Pemprov DKI Jakarta hampir tidak punya masalah dengan pembayaran gaji PNS-nya, dan tunjangan para penjabatnya, karena retribusi dari sektor asap knalpot dan bisnis relatif cukup besar. Pemprov DKI masih bisa membiayai tunjangan kesehatan untuk si miskin, bantuan kredit lunak usaha kecil, membiayai program-program pendidikan, serta membiayai kegiatan sarat korupsi; sosialisasi ini dan itu, serta berbagai jenis pemeliharaan infrastruktur yang sulit diaudit.
Secara finansial, Jakarta seolah tidak akan bangkrut. Artinya, pemerintah ibu kota ini akan tetap menjadi benchmark dalam sistem penggajian PNS, karena akan semakin tingginya pendapatan dari bisnis lender dan asap knalpot.
Namun ibu kota negara ini akan mengalami bencana yang membuat penghuninya mengalami kebangkrutan massal. Penyebabnya adalah kemacetan dan banjir. Saat ini saja, kecuali pukul 00-00 sampai 05.00 dini hari, tidak ada waktu lengang di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta.
Waktu tempuh dari dan ke tempat-tempat di Jakarta menjadi sedemikian mahal, yang menyebabkan biaya distribusi barang dan jasa terus naik. Tingginya tunjangan yang dikantongi PNS, menyebabkan setiap pegawai menengah memiliki kemampuan kredit mobil.
Akibatnya, setiap pegawai terdorong menggadaikan tunjangannya ke perusahaan jasa finance (alias pemberi kredit mobil) demi untuk sebuah mobil berharga Rp 150 juta-an. Biaya hidup sehari-hari coba ditutupi dari gaji pokok, plus korupsi kecil-kecilan (syukur-syukur dapat yang besar).
Banjir Jakarta tidak akan terjadi setiap tahun, tapi di setiap hujan, karena hampir seluruh saluran di Jakarta tertutup dan tak terawat dengan baik. Proyek pengerukan saluran dan kali tidak pernah dilakukan secara serius, karena siapa biasa mengaudit kedalaman saluran dan kali yang telah dikeruk.
Yang penting dari setiap pengerjaan proyek adalah laporan dan ekspose media massa. Biaya untuk semua itu adalah setengah dari nilai anggaran yang tersedia. Setengahnya lagi didistribusikan ke kantong-kantong pejabat, mulai dari tingkat paling atas sampai paling bawah di setiap instansi.
Bencana lain yang menunggu Jakarta adalah tingginya arus urbanisasi dari daerah-daerah yang terancam, atau bahkan, bangkrut total. Jakarta dipastikan tidak akan bisa mencegah semua itu, karena tidak ada aturan yang melarang orang pergi ke Jakarta untuk cari makan.